17 August 2009

Assalamualaikum


Assalamualaikum and Welcome to
Ramadan on the Net


Welcome to a celebration of the Muslim holiday of Ramadan. Observed by more than one billion Muslims around the world, Ramadan is a time for spiritual purification achieved through fasting, self-sacrifice and prayers.


Celebrated during the ninth month of Islamic calendar, the fast is observed each day from sunrise to sunset. Fasting during Ramadan is one of the five Pillars of Islam. The Islamic belief that requires that Muslims perform five central duties in order to strengthen their faith. While Islam has two major sects, the Sunnis and the Shiites, all Muslims aim to realize these five pillars in their lifetime.


Ramadan concludes with a 3-day festival known as "Eid" or "Eid ul-Fitr," which literally means "the feast of the breaking/to break the fast." The holiday marks the end of Ramadan, the holy month of fasting and is a culmination of the month-long struggle towards a higher spiritual state.



*Ramadan 2009: The first day of Ramadan (fasting) in North America according to sighting, is expected to be August 22.


(source: Moonsighting.com)


CURRENT MOON

Ramadhan, the Month of Fasting

  • The Meaning of Ramadan

    Ramadan is a special month of the year for over one billion Muslims throughout the world. It is a time for inner reflection, devotion to God, and self-control. Muslims think of it as a kind of tune-up for their spiritual lives. There are as many meanings of Ramadan as there are Muslims.

    The third "pillar" or religious obligation of Islam, fasting has many special benefits. Among these, the most important is that it is a means of learning self-control. Due to the lack of preoccupation with the satisfaction of bodily appetites during the daylight hours of fasting, a measure of ascendancy is given to one's spiritual nature, which becomes a means of coming closer to God. Ramadan is also a time of intensive worship, reading of the Qur'an, giving charity, purifying one's behavior, and doing good deeds.

    As a secondary goal, fasting is a way of experiencing hunger and developing sympathy for the less fortunate, and learning to thankfulness and appreciation for all of God's bounties. Fasting is also beneficial to the health and provides a break in the cycle of rigid habits or overindulgence.

  • Who Fasts in Ramadan?

    While voluntary fasting is recommended for Muslims, during Ramadan fasting becomes obligatory. Sick people, travelers, and women in certain conditions are exempted from the fast but must make it up as they are able. Perhaps fasting in Ramadan is the most widely practiced of all the Muslim forms of worship.

  • The Sighting of the Moon

    Ramadan is the ninth month of the Islamic calendar. The much-anticipated start of the month is based on a combination of physical sightings of the moon and astronomical calculations. The practice varies from place to place, some places relying heavily on sighting reports and others totally on calculations. In the United States, most communities follow the decision of the Islamic Society of North America, which accepts bonafide sightings of the new moon anywhere in the United States as the start of the new month. The end of the month, marked by the celebration of 'Eid-ul-Fitr, is similarly determined.

  • From Dawn to Sunset

    The daily period of fasting starts at the breaking of dawn and ends at the setting of the sun. In between -- that is, during the daylight hours -- Muslims totally abstain from food, drink, smoking, and marital sex. The usual practice is to have a pre-fast meal (suhoor) before dawn and a post-fast meal (iftar) after sunset.

    The Islamic lunar calendar, being 11 to 12 days shorter than the Gregorian calendar, migrates throughout the seasons. Thus, since Ramadan begins on January 20 or 21 this year, next year it will begin on January 9 or 10. The entire cycle takes around 35 years. In this way, the length of the day, and thus the fasting period, varies in length from place to place over the years. Every Muslim, no matter where he or she lives, will see an average Ramadan day of the approximately 13.5 hours.

  • Devotion to God

    The last ten days of Ramadan are a time of special spiritual power as everyone tries to come closer to God through devotions and good deeds. The night on which the first verses of the Qur'an were revealed to the Prophet, known as the Night of Power (Lailat ul-Qadr), is generally taken to be the 27th night of the month. The Qur'an states that this night is better than a thousand months. Therefore many Muslims spend the entire night in prayer.

    During the month, Muslims try to read as much of the Qur'an as they can. Most try to read the whole book at least once. Some spend part of their day listening to the recitation of the Qur'an in a mosque.

  • Food in Ramadan

    Since Ramadan is a special time, Muslims in many parts of the world prepare certain favorite foods during this month.

    It is a common practice for Muslims to break their fast at sunset with dates (iftar), following the custom of Prophet Muhammad. This is followed by the sunset prayer, which is followed by dinner. Since Ramadan emphasizes community aspects and since everyone eats dinner at the same time, Muslims often invite one another to share in the Ramadan evening meal.

    Some Muslims find that they eat less for dinner during Ramadan than at other times due to stomach contraction. However, as a rule, most Muslims experience little fatigue during the day since the body becomes used to the altered routine during the first week of Ramadan.

  • The Spirit of Ramadan

    Muslims use many phrases in various languages to congratulate one another for the completion of the obligation of fasting and the 'Eid-ul-Fitr festival. Here is a sampling of them:

    "Kullu am wa antum bi-khair" (May you be well throughout the year) - Arabic

    "Atyab at-tihani bi-munasabat hulul shahru Ramadan al-Mubarak" (The most precious congratulations on the occasion of the coming of Ramadan) - Arabic

    "Elveda, ey Ramazan" (Farewell, O Ramadan) - Turkish

    "Kullu am wa antum bi-khair" (May you be well throughout the year) - Arabic

    "'Eid mubarak (A Blessed 'Eid)" - universal

  • 02 August 2009

    Khutbah Rasulullah Menyambut Ramadhan


    Selain memerintah shaum, dalam menyambut menjelang bulan Ramadhan, Rasulullah selalu memberikan beberapa nasehat dan pesan-pesan. Inilah ‘azimat’ Nabi tatkala memasuki Ramadhan.

    Inilah bulan ketika kamu diundang menjadi tamu Allah dan dimuliakan oleh-NYA. Di bulan ini nafas-nafasmu menjadi tasbih, tidurmu ibadah, amal-amalmu diterima dan doa-doamu diijabah. Bermohonlah kepada Allah Rabbmu dengan niat yang tulus dan hati yang suci agar Allah membimbingmu untuk melakukan shiyam dan membaca Kitab-Nya.

    Celakalah orang yang tidak mendapat ampunan Allah di bulan yang agung ini. Kenanglah dengan rasa lapar dan hausmu di hari kiamat. Bersedekahlah kepada kaum fuqara dan masakin. Muliakanlah orang tuamu, sayangilah yang muda, sambungkanlah tali persaudaraanmu, jaga lidahmu, tahan pandanganmu dari apa yang tidak halal kamu memandangnya dan pendengaranmu dari apa yang tidak halal kamu mendengarnya. Kasihilah anak-anak yatim, niscaya dikasihi manusia anak-anak yatimmu. Bertaubatlah kepada Allah dari dosa-dosamu. Angkatlah tangan-tanganmu untuk berdoa pada waktu shalatmu karena itulah saat-saat yang paling utama ketika Allah Azza wa Jalla memandang hamba-hamba-Nya dengan penuh kasih; Dia menjawab mereka ketika mereka menyeru-Nya, menyambut mereka ketika mereka memanggil-Nya dan mengabulkan doa mereka ketika mereka berdoa kepada-Nya.

    Wahai manusia! Sesungguhnya diri-dirimu tergadai karena amal-amalmu, maka bebaskanlah dengan istighfar. Punggung-punggungmu berat karena beban (dosa) mu, maka ringankanlah dengan memperpanjang sujudmu.

    Ketahuilah! Allah ta’ala bersumpah dengan segala kebesaran-Nya bahwa Dia tidak akan mengazab orang-orang yang shalat dan sujud, dan tidak akan mengancam mereka dengan neraka pada hari manusia berdiri di hadapan Rabb al-alamin.

    Wahai manusia! Barang siapa di antaramu memberi buka kepada orang-orang mukmin yang berpuasa di bulan ini, maka di sisi Allah nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan dia diberi ampunan atas dosa-dosa yang lalu. (Sahabat-sahabat lain bertanya: “Ya Rasulullah! Tidaklah kami semua mampu berbuat demikian.”

    Rasulullah meneruskan: “Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan sebiji kurma. Jagalah dirimu dari api neraka walaupun hanya dengan seteguk air.”

    Wahai manusia! Siapa yang membaguskan akhlaknya di bulan ini ia akan berhasil melewati sirathol mustaqim pada hari ketika kai-kaki tergelincir. Siapa yang meringankan pekerjaan orang-orang yang dimiliki tangan kanannya (pegawai atau pembantu) di bulan ini, Allah akan meringankan pemeriksaan-Nya di hari kiamat. Barangsiapa menahan kejelekannya di bulan ini, Allah akan menahan murka-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa memuliakan anak yatim di bulan ini, Allah akan memuliakanya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa menyambungkan tali persaudaraan (silaturahmi) di bulan ini, Allah akan menghubungkan dia dengan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barang siapa memutuskan kekeluargaan di bulan ini, Allah akan memutuskan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya. Barangsiapa melakukan shalat sunat di bulan ini, Allah akan menuliskan baginya kebebasan dari api neraka. Barangsiapa melakukan shalat fardu baginya ganjaran seperti melakukan 70 shalat fardu di bulan lain. Barangsiapa memperbanyak shalawat kepadaku di bulan ini, Allah akan memberatkan timbangannya pada hari ketika timbangan meringan. Barangsiapa di bulan ini membaca satu ayat Al-Quran, ganjarannya sama seperti mengkhatam Al-Quran pada bulan-bulan yang lain.

    Wahai manusia! Sesungguhnya pintu-pintu surga dibukakan bagimu, maka mintalah kepada Tuhanmu agar tidak pernah menutupkannya bagimu. Pintu-pintu neraka tertutup, maka mohonlah kepada Rabbmu untuk tidak akan pernah dibukakan bagimu. Setan-setan terbelenggu, maka mintalah agar ia tak lagi pernah menguasaimu. Amirul mukminin k.w. berkata: “Aku berdiri dan berkata: “Ya Rasulullah! Apa amal yang paling utama di bulan ini?” Jawab Nabi: “Ya Abal Hasan! Amal yang paling utama di bulan ini adalah menjaga diri dari apa yang diharamkan Allah”.

    Wahai manusia! sesungguhnya kamu akan dinaungi oleh bulan yang senantiasa besar lagi penuh keberkahan, yaitu bulan yang di dalamnya ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan; bulan yang Allah telah menjadikan puasanya suatu fardhu, dan qiyam di malam harinya suatu tathawwu’.”

    “Barangsiapa mendekatkan diri kepada Allah dengan suatu pekerjaan kebajikan di dalamnya, samalah dia dengan orang yang menunaikan suatu fardhu di dalam bulan yang lain.”

    “Ramadhan itu adalah bulan sabar, sedangkan sabar itu adalah pahalanya surga. Ramadhan itu adalah bulan memberi pertolongan ( syahrul muwasah ) dan bulan Allah memberikan rizqi kepada mukmin di dalamnya.”

    “Barangsiapa memberikan makanan berbuka seseorang yang berpuasa, adalah yang demikian itu merupakan pengampunan bagi dosanya dan kemerdekaan dirinya dari neraka. Orang yang memberikan makanan itu memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa tanpa sedikitpun berkurang.”

    Para sahabat berkata, “Ya Rasulullah, tidaklah semua kami memiliki makanan berbuka puasa untuk orang lain yang berpuasa. Maka bersabdalah Rasulullah saw, “Allah memberikan pahala kepada orang yang memberi sebutir kurma, atau seteguk air, atau sehirup susu.”

    “Dialah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya pembebasan dari neraka. Barangsiapa meringankan beban dari budak sahaya (termasuk di sini para pembantu rumah) niscaya Allah mengampuni dosanya dan memerdekakannya dari neraka.”

    “Oleh karena itu banyakkanlah yang empat perkara di bulan Ramadhan; dua perkara untuk mendatangkan keridhaan Tuhanmu, dan dua perkara lagi kamu sangat menghajatinya.”

    “Dua perkara yang pertama ialah mengakui dengan sesungguhnya bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan mohon ampun kepada-Nya . Dua perkara yang kamu sangat memerlukannya ialah mohon surga dan perlindungan dari neraka.”

    “Barangsiapa memberi minum kepada orang yang berbuka puasa, niscaya Allah memberi minum kepadanya dari air kolam-Ku dengan suatu minuman yang dia tidak merasakan haus lagi sesudahnya, sehingga dia masuk ke dalam surga.” (HR. Ibnu Huzaimah).

    Wahai manusia! Sungguh telah datang pada kalian bulan Allah dengan membawa berkah rahmat dan maghfirah. Bulan yang paling mulia disisi Allah. Hari-harinya adalah hari-hari yang paling utama. Malam-malamnya adalah malam-malam yang paling utama. Jam demi jamnya adalah jam-jam yang paling utama.

    Ramadhan : Syukur, Sadaqah dan Rizki

    Penyakit-penyakit ringan untuk dosa-dosa kecil, penyakit-penyakit berat untuk dosa-dosa besar. Semoga Allah tidak mencabut kita dari faiz Ramadhan… Mengucapkan Bismillahir rahmaanir rahiim dalam Ramadhan yang suci tidaklah sama dengan mengucapkannya di bulan-bulan lain. Setiap perbuatan baik, amal shaleh, dihitung 70 kali dalam bulan ini. Ramadhan adalah bulan berkumpulnya ‘perhiasan dan emas’ berharga, karena Allah membalas amal-amal baik fauq-ul ‘ala.

    Di setiap malam, barakahnya pun berbeda, 30 malam di bulan Ramadhan adalah seperti 30 sumber mata air yang satu berbeda dari yang lain. Allah memiliki begitu banyak sumber, Dia-lah Jalla Jalaluhu… Mereka berpikir ini adalah gurauan… Jangan pergi ke mana-mana tanpa memiliki Wudhu! Syukur, ya Rabbi! Izinkanlah kami memuji Nama Agung-Mu dengan lidah-lidah kami, ‘Allah ya Jaliil… Allah dzul Jalaal!’ Mereka iri kepada kita karena kita berdzikir dan menyebut nama-Nya… Syukur…Syukur…Syukur! Jangan takut! Siapa yang bersyukur tidak akan jatuh dari Sirath, Jembatan, tak akan pula dia jatuh ke dalam Neraka, dan dia tak akan mati karena penyakit yang mengerikan. Penyakit akan lari dari orang yang tahu berterima kasih yang mengucapkan ‘Syukur…’

    Untuk setiap pengucapan Bismillahir rahmaanir rahiim, ada tujuh puluh kali pahala. Apa pun yang kalian lakukan dalam Ramadhan adalah berharga dan penuh dengan barakah. Pahala yang diberikan di bulan ini tidak diberikan di bulan-bulan lain… Maka berilah (sedekah-red) dan jangan takut,Allah akan memberi kalian. Suatu bangsa yang dikaruniai Allah dengan ilmu yang banyak adalah bangsa Israel. Dengan ilmu dan penemuan mereka, mereka berada di atas bangsa-bangsa lain. Tak ada yang berada di depan mereka… Kini, bahkan ada mesin teh yang dapat membuat tujuh macam teh yang berbeda… Orang Yahudi juga membuat uang kertas dan kini kita mempunyai kartu kredit. Mereka begitu dekat dengan Setan, teman-teman kelas pertama dari Setan, dan dia membisikkan pada mereka apa yang mesti mereka lakukan… Di zaman dahulu, jual beli dilakukan dengan Shalawat dan Basmalah, baik pembeli maupun penjual mengambil bagian barakah mereka. Dan barang-barangnya tidak pernah habis. Kalian masih dapat melihat barakah ini di Makkah, setelah salat malam, jutaan orang berbelanja, tetapi di pagi hari kalian masih dapat melihat toko-toko itu penuh seperti sebelumnya, tak ada yang hilang. Barang dagangan pergi dan datang. Itu adalah karena barakah yang Allah berikan pada tempat itu… Sekarang yang dipakai adalah kertas, bukan lagi emas dan perak…

    Allah berfirman, “Apa pun yang kalian berikan demi Aku, tidaklah Aku terima, tetapi Aku kembalikan kepadamu sepuluh kali lipat.” Ada lima macam sadaqah, yang pertama sadaqah yang dibalas 1:1, yang kedua adalah sadaqah yang dibalas 1:10, yang ketiga adalah sadaqah yang dibalas 1:70, yang keempat adalah sadaqah yang dibalas 1:700, dan yang terakhir adalah sadaqah yang dibalas tanpa batas oleh Allah sendiri.

    Balasan 1:1 adalah untuk sadaqah dengan uang haram, uang yang misalnya diperoleh dari bank, karena mengambil bunga tidak diperbolehkan dalam Islam. Dan kalian harus tahu apa yang mesti dilakukan dengan uang itu. Pernah ada seorang Arab kaya di London yang menerima jutaan poundsterling untuk uang yang dia simpan di bank. Dia menolak menerimanya karena dia berkata bahwa dalam Islam itu tidak diperbolehkan, tetapi pihak bank berkata bahwa mereka tidak dapat mengambilnya kembali. Kemudian orang kaya itu mengambil uang tersebut dan menyumbangkannya untuk perbaikan suatu katedral di Inggris… Pahala untuk sadaqah dari uang haram ini adalah 1:1.

    Jika kalian memberi kepada seseorang yang datang meminta pada kalian, pahala kalian adalah 1:10, jika kalian berikan pada tetangga kalian yang miskin, pahala kalian adalah 1:70. Jika kalian berikan pada kerabat yang miskin, pahalanya adalah 1:700. Pahala tanpa batas adalah bagi mereka yang memberikan uang untuk memperkuat Islam, untuk membuatnya berdiri tegak dan menjaganya tetap kokoh. Pahala itu tidak ditulis oleh malaikat, tetapi oleh Allah sendiri dengan Tangan Qudrah-Nya. Sebagai contoh adalah uang yang digunakan untuk membangun atau memelihara masjid-masjid, dergah, madrasah, waqif. Karena Allah lah yang memberi pahala kepada kalian, mengapa kalian takut untuk memberi? Allah berfirman, “Aku mengirimkan rezeki dengan jalan dan cara yang tak diketahui dan tak diduga oleh hamba-Ku.” Karena itu Allah tidak menginginkan ada pegawai di masjid-masjid, adalah Atribut-Nya untuk mengkaruniai hamba-hamba-Nya dengan cara-Nya.

    Mereka tidak seharusnya makan dari Bait-ul Mal. Jangan ikat diri kalian sendiri dengan membatasi hanya pada gaji, ikatlah diri kalian sendiri kepada Allah! Tetapi, kita berlari mengejar sampah-sampah dunia dan mengumpulkannya. Kumpulkanlah permata! Semoga Allah memberikan kita akal pikiran yang lebih berorientasi terhadap akhirat. Jika kita tidak mencari akhirat lebih dahulu, pikiran pun tidak berfungsi baik di dunia… Buktinya, jika pikiran kita berfungsi dengan baik, dunia ini tentunya sudah menjadi seperti surga.

    PANDUAN AMAL DI BULAN RAMADHAN

    Ramadhan bagi umat Islam bukan sekedar salah satu nama bulan qomariyah, tapi dia mempunyai makna tersendiri. Ramadhan bagi seorang muslim adalah rihlah dari kehidupan materialistis kepada kehidupan ruhiyah, dari kehidupan yang penuh berbagai masalah keduniaan menuju kehidupan yang penuh tazkiyatus nafs dan riyadhotur ruhiyah. Kehidupan yang penuh dengan amal taqorrub kepada Allah, mulai dari tilawah Al-Qur'an, menahan syahwat dengan shiyam, sujud dalam qiyamul lail, ber'itikaf di masjid, dan lain-lain.
    Semua ini dalam rangka merealisasikan inti ajaran dan hikmah puasa Ramadhan yaitu : Agar kalian menjadi orang yang bertaqwa. (Al-Baqoroh: 183 dan akhir Al-Hijr)
    Ramadhan juga merupakan bulan latihan bagi peningkatan kualitas pribadi seorang mulism. Hal itu terlihat pada esensi puasa yakni agar manusia selalu dapat meningkatkan nilainya dihadapan Allah SWT dengan bertaqwa, disamping melaksanakan amaliyah-amaliyah positif yang ada pada bulan Ramadhan.

    Diantara amaliyah-amaliyah Ramadhan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW baik itu amaliyah ibadah maupun amaliyah ijtijma'iyah adalah sebagai berikut:

    I. Shiyam (puasa)
    Amaliyah terpenting selama bulan Ramadhan tentu saja adalah shiyam (puasa), sebagaimana termaktub dalam firman Allah pada surat al Baqoroh :
    183-187. Dan diantara amaliyah shiyam Ramadhan yang diajarkan oleh Rasulullah ialah :

    *

    Berwawasan yang benar tentang puasa dengan mengetahui dan menjaga rambu-rambunya. "Barangsiapa berpuasa Ramadhan kemudian mengetahui rambu-rambunya dan memperhatikan apa yang semestinya diperhatikan, maka hal itu akan menjadi pelebur dosa-dosa yang pernah dilakukan sebelumnya" (HR. Ibnu Hibban dan Al Baihaqi).
    *

    Tidak meninggalkan shiyam, walaupun sehari, dengan sengaja tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari'at Islam. Rasulullah SAW bersabda bahwa : "Barangsiapa tidak puasa pada bulan Ramadhan sekalipun sehari tanpa alasan rukhshoh atau sakit, hal itu (merupakan dosa besar) yang tidak bisa ditebus bahkan seandainya ia berpuasa selama hidup" (HR At Turmudzi).
    *

    Menjauhi hal-hal yang dapat mengurangi atau bahkan menggugurkan nilai shiyam. Rasulullah SAW pernah bersabda : " Bukanlah (hakikat) shiyam itu sekedar meninggalkn makan dan minum, melainkan meninggalkan pekerti sia-sia (tak bernilai) dan kata-kata bohong" (HR Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah). Rasulullah juga pernah bersabda bahwa : " Barangsiapa yang selama berpuasa tidak juga meninggalkan kata-kata bohong bahkan mempraktekkannya, maka tidak ada nilainya bagi Allah apa yang ia sangkakan sebagai puasa, yaitu sekedar meninggalkan makan dan minum "
    (Hr Bukhori dan Muslim).
    *

    Bersungguh - sungguh melakukan shiyam dengan menepati aturan-aturannya. Rasulullah SAW bersabda : " Barangsiapa berpuasa Ramadhan dengan sepenuh Iman dan kesungguhan, maka akan diampunkanlah dosa-dosa yang pernah dilakukan " (HR. Bukhori, Muslim dan Abu Daud).
    *

    Bersahur, makanan yang berkah (al ghoda' al mubarok ). Dalam hal ini Rasulullah pernah bersabda bahwa : " Makanan sahur semuanya bernilai berkah, maka jangan anda tinggalkan, sekalipun hanya dengan seteguk air. Allah dan para Malaikat mengucapkan salam kepada orang-orang yang makan sahur" (HR. Ahmad). Dan disunnahkan mengakhirkan waktu makan sahur .
    *

    Ifthor, berbuka puasa. Rasululah pernah menyampaikan bahwa salah satu indikasi kebaikan umat manakala mereka mengikuti sunnah dengan mendahulukan ifthor (berbuka puasa) dan mengakhirkan sahur. Dalam hal berbuka puasa Rasulullah SAW juga pernah bersabda bahwa : " Sesungguhnya termasuk hamba Allah yang paling dicintai olehNya, ialah mereka yang bersegera berbuka puasa. " (HR. Ahmad dan Tirmidzi). Bahkan beliau mendahulukan ifthor walaupun hanya dengan ruthob (kurma mengkal), atau tamr (kurma) atau air saja " (HR. Abu Daud dan Ahmad).
    *

    Berdo'a. Sesudah hari itu menyelesaikan ibadah puasa dengan berifthor, Rasulullah SAW seperti prilaku yang beliau lakukan sesudah menyelesaikan suatu ibadah, dan sebagai wujud syukur kepada Allah, beliau membaca do'a sebagai berikut ;

    Rasulullah bahkan mensyari'atkan agar orang-orang yang berpuasa banyak memanjatkan do'a, sebab do'a mereka akan dikabulkan oleh Allah. Dalam hal ini beliau pernah bersabda bahwa : " Ada tiga kelompok manusia yang do'anya tidak ditolak oleh Allah. Yang pertama ialah do'a orang-rang yang berpuasa sehingga mereka berbuka" (HR. Ahmad dan Turmudzi).

    II. Tilawah (membaca) al Qur'an
    Ramadhan adalah bulan diturunkannya al Qur'an. (QS. Al Baqoroh: 185). Pada bulan ini Malaikat Jibril pernah turun dan menderas al Qur'an dengan Rasulullah SAW (HR. Bukhori). Maka tidak aneh kalau Rasulullah SAW (yang selalu menderas al Qur'an disepanjang tahun itu) lebih sering menderasnya pada bulan Ramadhan. Imam az Zuhri pernah berkata : " Apabila datang Ramadhan maka kegiatan utama kita (selain shiyam) ialah membaca al Qur'an". Hal ini tentu saja dilakukan dengan tetap memperhatikan tajwid (kaedah membaca al Qur'an) dan esensi dasar diturunkannya al Qur'an untuk ditadabburi, dipahami dan diamalkan (QS. Shod: 29).

    III. Ith'am ath tho'am (memberikan makanan dan shodaqoh lainnya).
    Salah satu amaliyah Ramadhan Rasulullah ialah memberikan ifthor (santapan berbuka puasa) kepada orang-orang yang berpuasa. Seperti beliau sabdakan :
    "Barangsiapa yang memberi ifthor kepada orang-orang yang berpuasa, maka ia mendapat pahala senilai pahala orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut " (HR. Turmudzi dan an Nasa'i). Hal memberi makan dan sedekah selama bulan Ramadhan ini bukan hanya untuk keperluan iftor melainkan juga untuk segala kebajikan, Rasulullah yang dikenal dermawan dan penuh peduli terhadap nasib umat, pada bulan Ramadhan kedermawanan dan keperduliannya tampil lebih menonjol, kesigapan beliau dalam hal ini bahkan dimisalkan sebagai " lebih cepat dari angin " (HR Bukhori ).

    IV. Memperhatikan kesehatan.
    Shaum memang termasuk kategori ibadah mahdhoh (murni), sekalipun demikian agar nilai maksimal ibadah puasa dapat diraih, Rasulullah justru mencontohkan kepada umat agar selama berpuasa tetap memperhatikan kesehatan. Hal ini terlihat dari beberapa peristiwa dibawah ini:

    *

    Menyikat gigi dengan siwak (HR. Bukhori dan Abu Daud).
    *

    Berobat seperti dengan berbekam (al hijamah) seperti yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim.
    *

    Memperhatikan penampilan, seperti pernah diwasiatkan oleh Rasulullah SAw kepada sahabat Abdullah ibnu Mas'ud RA, agar memulai puasa dengan penampilan baik dan tidak dengan wajah yang cemberut. ( HR. AL Haitsami)

    V. Memperhatikan harmoni keluarga.
    Sekalipun puasa adalah ibadah yang khusus diperuntukkan kepada Allah, yang memang juga mempunyai nilai khusus dihadapan Allah, tetapi agar hal tersebut diatas dapat terealisir dengan lebih baik, maka Rasulullah justru mensyari'atkan agar selama berpuasa umat tidak mengabaikan harmoni dan hak-hak keluarga. Seperti yang diriwayatkan oleh istri-istri beliau, Aisyah dan Ummu Salamah RA, Rasulullah tokoh yang paling baik untuk keluarga itu, selama bulan Ramadhan tetap selalu memenuhi hak-hak keluarga beliau. Bahkan ketika Rasulullah berada dalam puncak praktek ibadah shaum yakni i'tikaf, harmoni itu tetap terjaga.

    VI. Memperhatikan aktivitas da'wah dan sosial
    Kontradiksi dengan kesan dan perilaku umum tentang berpuasa, Rasulullah SAW justru menjadikan bulan puasa sebagai bulan penuh amaliyah dan aktivitas positif. Selain yang telah tergambar seperti tersebut dimuka, beliau juga aktif melakukan da'wah, kegiatan sosial, perjalanan jauh dan jihad. Dalam sembilan kali Ramadhan yang pernah beliau alami, beliau misalnya melakukan perjalanan ke Badr (tahun 2 H), Mekah ( tahun 8 H), dan ke Tabuk (tahun 9 H), mengirimkan 6 sariyah (pasukan jihad yang tidak secara langsung beliau ikuti/pimpin), melaksanakan perkawinan putrinya (Fathimah) dengan Ali RA, beliau berkeluarga dengan Hafshoh dan Zainab RA, meruntuhkan berhala-berhala Arab seperti Lata, Manat dan Suwa',
    meruntuhkan masjid adh Dhiror, dll.

    VII. Qiyam Ramadhan (sholat tarawih)
    Diantara kegiatan ibadah Rasulullah selama bulan Ramadhan ialah ibadah qiyam al lail, yang belakangan lebih populer disebut sebagai sholat tarowih. Hal demikian ini beliau lakukan bersama dengan para sahabat beliau. Sekalipun karena kekhawatiran bila akhirnya sholat tarawih (berjama'ah) itu menjadi diwajibkan oleh Allah, Rasulullah kemudian meninggalkannya. (HR. Bukhori Muslim). Dalam situasi itu riwayat yang shohih menyebutkan bahwa Rasulullah shalat tarowih dalam 11 reka'at dengan bacaan-bacaan yang panjang (HR. Bukhori Muslim). Tetapi ketika kekhawatiran tentang
    pewajiban sholat tarowih itu tidak ada lagi, kita dapatkan riwayat-riwayat lain, juga dari Umar ibn al Khothob RA, yang menyebutkan jumlah reka'at shalat tarowih adalah 21 atau 23 reka'at. (HR. Abdur Razaq dan al Baihaqi). Mensikapi perbedaan reka'at ini bagus juga bila kita cermati pendapat dan kajian dari Ibnu hajar al Asqolani asy Syafi'i, seorang tokoh yang juga dijuluki sebagai amirul mu'minin fi hadits, beliau menyampaikan bahwa :
    Beberapa informasi tentang jumlah reka'at tarowih itu menyiratkan ragam sholat sesuai dengan keadaan dan kemampuan masing-masing, kadang ia mampu melaksanakan shalat dalam 11 reka'at, kadang 21 dan terkadang 23 reka'at pula. Hal demikian itu kembali juga semangat dan antusiasme masing-masing. Dahulu mereka yang sholat dengan 11 reka'at itu dilakukan dengan bacaan yang panjang sehingga mereka bertelekan diatas tongkat penyangga, sementara mereka yang sholat dengan 21 atau 23 reka'at mereka membaca bacaan-bacaan yang pendek (dengan tetap memperhatikan thoma'ninah sholat) sehingga tidak menyulitkan.

    VIII. I'tikaf.
    Diantara amaliyah sunnah yang selalu dilakukan oleh Rasulullah SAw dalam bulan Ramadhan ialah i'tikaf, yakni berdiam diri di dalam masjid dengan niat beribadah kepada Allah. Seperti dilaporkan oleh Abu Sa'id al Khudlri RA, hal demikiam ini pernah beliau lakukan pada awal Ramadhan, pertengahan Ramadhan dan terutama pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan. Ibadah yang demikian penting ini sering dianggap berat sehingga ditinggalkan oleh orang-orang Islam, maka tidak aneh kalau Imam az Zuhri berkomentar ; Aneh benar keadaan orang Islam, mereka meninggalkan ibadah i'tikaf, padahal Rasulullah SAW tak pernah meninggalkannya semenjak beliau datang ke madinah sehingga wafatnya disana.

    IX. Lailat al Qodr
    Selama bulan Ramadhan ini terdapat satu malam yang sangat berkah, yang populer disebut sebagai lailat al Qodr, malam yang lebih berharga dari seribu bulan (QS. Al Qodr : 1-5). Rasululah tidak pernah melewatkan kesempatan untuk meraih lailat al qodr terutama pada malam-malam ganjil pada 10 hari terakhir bulan puasa (HR. Bukhori Muslim ). Dalam hal ini Rasulullah menyampaikan bahwa : "Barangsiapa yang sholat pada malam lailatul qodr berdasarkan iman dan ihtisab, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu. " (Hr. Bukhori Muslim). Dalam keadaan ini Rasulullah mengajarkan do'a sebagai berikut :


    X. Umroh .
    Umroh atau haji kecil itu bagus juga apabila dilaksanakan pada bulan Ramadhan, sebab nilainya bisa berlipat-lipat, sebagaimana pernah disabdakan oleh Rasulullah kepada seorang wanita dari anshor bernama Ummu Sinan: " Agar apabila datang bulan Ramadhan ia melakukan umroh, karena nilainya setara dengan haji bersama Rasulullah SAW. (Hr. Bukhori Muslim)

    XI. Zakat Fitrah
    Pada hari-hari terakhir bulan Ramadhan amaliyah yang disunnahkan oleh Rasulullah SAW ialah membayarkan zakat fithr, suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh umat Islam baik laik-laki maupun perempuan, baik dewasa maupun anak-anak (HR. Bukhori Muslim). Zakat fithr ini juga berfungsi sebagai pelengkap penyucian untuk pelaku puasa dan untuk membantu kaum fakir miskin. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

    XII. Ramadhan bulan taubat menuju fithroh
    Selama sebulan penuh, secara berduyun-duyun umat kembali kepada Allah yang Maha Pemurah juga Maha Pengampun. Dia Dzat yang menyampaikan bahwa pada setiap malam bulan Ramadhan Allah membebaskan banyak hambaNya dari api nereka (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah). Karenanya inilah satu kesempatan emas agar umat dapat kembali, bertaubat agar ketika mereka selesai melaksanakan ibadah puasa mereka benar-benar kembali kepada fithrohnya.

    Khotimah
    Demikianlah sebagian amaliyah Ramadhan yang mudah dan bisa dilakukan oleh setiap muslim. Dan dengan demikian Ramadhan juga menyiratkan salah satu prinsip dasar Islam tentang moderasi dan integralitas ajarannya. Ramadhan memang bulan penuh kebaikan, sehingga Rasulullah pernah bersabda ; "Apabila orang-orang mengetahui nilai lebih Ramadhan, mereka akan berharap agar semua bulan dijadikan sebagai bulan Ramadhan". (HR. Ibnu Huzaimah). Semoga Allah menerima amaliyah shiyam dan qiyam kita sekalian, amin.

    Wassalam.

    Tip dan Trik Ramadhan

    Ibarat sebuah Sekolah, bulan Ramadhan merupakan sebuah sarana dan tempat untuk menempa diri. Tidak tanggung-tanggung didikan di bulan Ramadhan langsung dari sang Maha Pencipta. Kita, yang menjalankan puasa, sebagai “murid” tentunya ingin berhasil dan lulus dengan baik.
    Berikut ini beberapa kiat yang dapat dilakukan agar kita menjadi “alumni” Ramadhan yang teladan. Teladan bagi kita semua terutama bagi diri sendiri.

    1. Tanamkan dalam diri kita bahwa Ramadhan kali ini merupakan yang terakhir bagi kita, karena kita tidak tahu apakah kita masih bisa bertemu dengan Ramadhan tahun depan. Dengan demikian kita akan berusaha mempersembahkan Ramadhan kali ini adalah Ramadhan yang terbaik yang pernah dilalui. Lebih baik dari tahun-tahun yang telah lewat.

    2. Buatlah daftar kegiatan atau agenda yang akan dilakukan selama Ramadhan. Termasuk didalamnya adalah target-an ibadah yang ingin di capai. Misalnya selama Ramadhan mau khatam Al-Quran berapa kali. Selain itu buat juga aktivitas harian yang terperinci dari bangun tidur sampai tidur lagi. Dengan demikian ibadah yang kita lakukan akan lebih efektif dan efisien.

    3. Tidak menunda-nunda dan tidak mudah lelah melaksanakan aktivitas yang telah disusun terutama yang menyangkut masalah ibadah. Sekali kita menunda maka akan berdampak pada agenda yang lain, akibatnya banyak agenda kegiatan yang terbengkalai.

    4. Lakukan evaluasi harian terhadap kegiatan yang telah dilakukan pada hari itu. Mengevaluasi bisa dilakukan ketika menjelang tidur malam. Dengan mengevaluasi kita bisa tahu sejauh mana target yang telah kita susun tercapai, atau jika ada kegiatan yang tidak terlaksana bisa diganti pada hari yang lain. Dengan demikian kita masih berada pada jalur yang telah direncanakan dan berusaha lebih baik pada hari-hari berikutnya.

    5. Mengefisienkan kerja pada siang hari dengan tidak terlalu menguras tenaga karena pada malam harinya kita masih akan melakukan ibadah yang padat seperti shalat Tarawih atau Tahajjud. Kondisi badan yang terlalu lelah gampang sekali dimasuki dan dipengaruhi setan sehingga kita menjadi malas beribadah.

    6. Mengurangi atau meniadakan aktivitas yang tidak ada hubungannya dengan Ramadhan, aktivitas yang dapat mengganggu nilai ibadah dan puasa itu sendiri.

    7. Menjaga kualitas makanan yang masuk ketika berbuka dan bersahur. Pada saat berbuka, hindari makan terlalu kenyang atau langsung makan “berat”. Lebih baik saat berbuka makan-makanan yang manis karena mudah sekali dicerna tubuh dan cepat menggantikan kalori yang hilang. Dengan langsung makan berat (baca:nasi) saat berbuka, organ pencernaan akan merasa “kaget” dan tidak siap melakukan tugas yang berat setelah seharian istirahat, akibatnya makanan yang kita makan tidak tercerna dan terabsorbsi dengan maksimal. Pada waktu sahur, usahakan makan makanan yang banyak mengandung protein seperti daging. Tidak makan makanan yang mengandung asam karena dapat mempengruhi kondisi asam lambung yang berakibat perut perih, sakit dan mual, terutama bagi penderita maag.

    8. Perbanyak silaturahim dengan orang-orang yang dapat menambah keimanan dan meningkatkan kualitas puasa kita.

    9. Pada sepuluh hari terakhir, usahakan i’tikaf di masjid, kalau tidak bisa usahakan pada waktu malam hari kita berada di masjid. Dengan i’tikaf lebih mendekatkan diri dengan Allah.

    Semoga kita menjadi Alumni Ramadhan yang Teladan, yang memberikan dampak positif mengarungi hidup di 11 bulan lainnya. Amin.

    Wassalam

    XL Ramadhan Rame, Lebih muRAh MEriah

    Kartu perdana Rp.2.000, promo tarif murah telpon & SMS, internet murah, VAS & XL BB yg inovatif & Islami, hingga posko mudik & mudik bareng

    Image

    Tanpa terasa bulan Suci Ramadhan akan segera datang kembali. Bulan yang penuh rahmat dan berkah ini selalu dinanti-nantikan kedatangan oleh setiap insan umat Islam, termasuk umat Islam di Indonesia. XL sebagai salah satu penyedia jasa layanan telekomunikasi terkemuka di Indonesia terus berupaya memberikan komitmen yang terbaik bagi para pelanggannya, termasuk menyediakan berbagai layanan unggulan untuk mendukung aktifitas para pelanggan selama berlangsungnya bulan suci Ramadhan.

    Selama berlangsungnya bulan suci Ramadhan ini, XL menyediakan berbagai layanan yang dikemas melalui program XL Ramadhan Rame, yang didalamnya terdapat antara lain layanan kartu perdana Rp.2.000,-, promo tarif murah telpon dan SMS untuk XL Prabayar, paket internet murah, berbagai konten VAS (Value Added Services) dan XL BlackBerry yang inovatif dan Islami (RBT Ramadhan, Dakwah Ramadhan, BlackBerry Qur’an, SMS Infaq, dll), hingga posko mudik dan mudik bareng.

    Layanan Kartu Perdana Rp. 2.000,-

    Pelanggan yang membeli kartu Perdana Rp. 2.000,- ini akan mendapatkan berbagai keuntungan diantaranya :
    • Bonus Isi Ulang :
      - Pulsa sebesar Rp.5.000,- jika melakukan isi ulang pertama Rp 25.000
      - Pulsa Rp.15.000,- jika melakukan isi ulang dengan akumulasi Rp 100.000.

    Bonus isi ulang ini dapat diperoleh jika pelanggan melakukan isi ulang dalam periode maksimum 45 hari setelah aktivasi

    • Promo Tariff Spesial, yang memungkinkan pelanggan bisa lebih cepat untuk mendapatkan tariff khusus nelpon 0,01 sampe puas ke sesama nomor XL. Tarif special tersebut adalah :
    - Rp 300 (Rp.20/detik untuk 15 detik pertama, jam 00.00–11.00)
    - Rp 900 (Rp.20/detik untuk 45 detik pertama, jam 11.00-17.00)
    - Rp 1800 (Rp 20/detik untuk 90 detik pertama, jam 17.00-24.00).
    Dan selanjutnya pelanggan akan menikmati tarif Rp 0,01 atau setara dengan GRATIS . Promo ini berlaku mulai tanggal 1 Agustus hingga 30 September 2009 secara nasional (kecuali Jambi, Bengkulu, Bangka dan Kalimantan).
    • Promo Tarif SMS, yang memungkinkan pelanggan untuk mendapatkan bonus SMS dari XL hingga 900 SMS setiap harinya. Caranya mudah, yaitu pelanggan cukup mengirimkan 8 SMS dengan tarif Rp 150/SMS setelah itu akan mendapatkan bonus 240 SMS ke sesama nomor XL dan 60 SMS ke nomor operator lain. Pelanggan akan mendapatkan tiga kali kesempatan dalam 24 jam untuk mendapatkan bonus SMS yang sangat menarik ini, yaitu
    - Antara pukul 00.00-12.00 WIB
    - Antara pukul 00.00-12.00 WIB
    - Antara pukul 19.00-24.00 WIB
    Setelah 300 SMS, tiap kali kirim SMS pelanggan akan dikenakan tarif Rp 150/SMS. Bonus SMS ini berlaku untuk Paket Murah Sampe Puas dan Paket Murah Berkali-kali, mulai 1 Juli hingga 30 September 2009. Pelanggan bisa mendapatkan paket ini melalui *500# lalu tekan OK/YES
    • Paket Internet Murah, Pelanggan bisa mendapatkan promo tariff paket Internet dengan berbagai pilihan, diantaranya :
    - Paket Internet Rp. 20.000 untuk kuota sebesar 40MB atau Rp. 0,5/KB yang berlaku selama 30 hari.
    - Paket Internet Rp. 2.000 untuk kuota sebesar 1MB, yang berlaku 1 hari
    - Paket Internet Rp. 10.000 untuk kuota 10MB, yang berlaku 7 hari
    - Paket Internet Rp. 50.000 untuk kuota 130MB, yang berlaku 30 hari.
    - Paket Internet Rp. 100.000 untuk kuota 320MB, yang berlaku 30 hari
    - Paket Internet Rp. 200.000 untuk kuota 750MB, yang berlaku 30 hari
    Kelebihan penggunaan akan dikenakan tarif Rp 3/KB (XL Prabayar) sudah termasuk PPN. Program ini berlaku hingga 31 Januari 2010. Untuk mendapatkan paket ini, pelanggan cukup menekan *111# OK/YES lalu pilih paket internet.

    Konten Islami

    Nikmati berbagai Konten Islami seperti RBT 1818 Islami, Wallpaper islami, Aplikasi BlackBerry Islami, dan berbagai layanan islami lainnya seperti SMS Infaq serta Kompetisi Pohon Keluarga Rame, Kompetisi Kartu Lebaran Elektronik (e-card) dan Kuis THR!

    TAFSIR AYAT PUASA DAN FAIDAH HUKUMNYA

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

    يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ أَيَّامًا مَعْدُوْدَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةُ طَعَامٌ مِسْكِيْنٌ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تـَصُوْمُوْا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ َتــعْلَمُوْنَ شَهْرُ مَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتِ مِنَ الْهُدَى وَ الْفُرْقَانِ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَنْ كاَنَ مَرِيْضًا أَوْ علَىَ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَياَّمٍ أُخَرَ يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتــكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوْا اللهَ علَىَ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
    Artinya : “Hai orang-orang yang beriman diwajbkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) : memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan bulan yang didalamnya diturunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang batil). Karena itu, barang siapa diantara kalian hadir (dinegeri tempat tinggalnya) dibulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. (Al Baqarah : 183 – 185)

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada orang-orang yang beriman dari umat ini, memerintahkan kepada mereka untuk berpuasa yaitu menahan diri dari makan, minum dan jima’, dengan niat ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Karena di dalam puasa terkandung penyucian dan pembersihan jiwa dari perbuatan yang hina dan akhlak yang rendah.

    Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan (dalam ayat di atas), (bahwa) sebagaimana Dia mewajibkan atas kalian (orang-orang yang beriman) puasa, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala (juga) mewajibkannya atas umat-umat yang terdahulu, sebelum kalian. Maka bagi mereka terdapat contoh yang baik, dan hendaklah kalian bersungguh-sungguh dalam menunaikan kewajiban ini, lebih sempurna dari orang-orang yang terdahulu, agar kalian benar-benar taqwa kepada Allah dan takut kepada-Nya.

    Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan ketentuan puasa. Bahwasanya puasa itu tidaklah setiap hari, (yang demikian itu) agar tidak memberatkan jiwa, sehingga menjadi lemahlah (jiwa) dari memikul dan menunaikannya. Tetapi puasa itu (dikerjakan) pada hari-hari tertentu. Yang mana pada permulaan Islam, orang-orang beriman berpuasa tiga hari setiap bulannya, kemudian hal ini dihapus dengan puasa pada bulan Ramadhan.

    Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan hukum puasa sebagaimana terjadi pada awal permulaan Islam. Dia menerangkan bahwa orang yang sakit dan musafir (orang yang bepergian) tidak (wajib) berpuasa dalam keadaan sakit atau bepergian, dikarenakan kesulitan pada dua keadaan itu (untuk berpuasa), bahkan keduanya boleh berbuka dan (harus) menggantinya pada waktu yang lain.

    Adapun orang yang sehat dan mukim, yang mana ia mampu berpuasa, maka ia dibolehkan memilih antara puasa (atau) memberi makan (fakir-miskin). Jika ia berkehendak puasa maka ia puasa, dan boleh berkehendak tidak puasa dengan memberi makan setiap hari seorang miskin, jika ia memberi makan lebih dari seorang miskin setiap harinya, maka hal itu baik (baginya), adapun jika ia berpuasa maka hal itu lebih utama daripada memberi makan.

    Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji bulan puasa dari bulan-bulan (yang lain), dengan diturunkannya Al Qur’an yang mulia sekaligus di Baitul Izzah dari langit dunia. Yang demikian itu dalam bulan Ramadhan pada malam lailatul qadar (malam yang ditentukan), sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
    إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدَرِ

    Artinya : “Sesungguhnya kami telah menurunkan Al Qur’an pada lailatul qadar” (Al Qadr : 1)

    Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
    إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةٍ مُبَارَكَةٍ

    Artinya : “Sesungguhnya kami menurunkan Al Qur’an pada malam yang diberkati” (Ad Dukhaan : 2)

    Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan (secara) berangsur-angsur sesuai dengan kejadian-kejadian (yang terjadi) atas Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam .

    Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji Al Qur’an yang telah diturunkannya pada Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, sebagai petunjuk bagi hati para hamba yang beriman kepada Al Qur’an, membenarkan serta mengikutinya. Dalil-dalil Al Qur’an dan hujjahnya jelas, terang bagi yang memahami dan memperhatikannya, yang menunjukkan atas kebenaran, menolak kesesatan, petunjuk yang berbeda dengan kesesatan, pemisah antara kebenaran dan kebatilan, serta yang halal dan yang haram.

    Kemudian dihapuslah (hukum yang membolehkan) memilih bagi orang yang mukim dan sehat. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan puasa Ramadhan dengan kewajiban pengharusan (untuk berpuasa) atas orang yang menyaksikan hilal Ramadhan sedang ia mukim di negeri ketika datang bulan Ramadhan, dan ia sehat jasmani untuk berpuasa. Tatkala diwajibkannya puasa, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengulangi penyebutan keringanan bagi orang yang sakit dan musafir (untuk) berbuka dengan syarat mengganti (pada hari lain). Maka barangsiapa ditimpa sakit yang memberatkannya untuk puasa atau (bahkan) bertambah berat sakitnya, ataupun ia dalam (keadaan) bepergian maka (dibolehkan) ia berbuka, apabila ia berbuka maka (wajib baginya mengganti) hari-hari berbukanya (pada hari yang lain). Oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

    يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

    “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (Al Baqarah : 185)”.

    Sungguh Allah Subhanahu wa Ta’ala telah meringankan bagi kalian untuk berbuka dalam keadaan sakit dan ketika bepergian, bersamaan dengan itu Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mewajibkan puasa bagi orang yang mukim dan sehat, (hal ini adalah) untuk kemudahan, dan sebagai rahmat bagi kalian.

    Ibnu Katsir berkata sesudah menafsirkan ayat tersebut (Al Baqarah : 185) : “Disini terdapat beberapa masalah yang berhubungan dengan ayat ini” :

    1.

    Sebagian kelompok dari ulama salaf berpendapat bahwa : Barang siapa yang mukim pada awal bulan, kemudian bepergian dipertengahannya, maka tidak diperbolehkan berbuka dengan alasan bepergian dan keadaan seperti ini. Karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

    فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمْ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

    “Barang siapa diantara kamu hadir (dinegeri tempat tinggalnya) dibulan itu, maka hendaklah ia berpuasa. (Al Baqarah : 185)”.

    Dan hanyalah diperbolehkan berbuka bagi musafir, (jika) nampak hilal bulan Ramadhan, sedangkan ia pada waktu itu sedang bepergian.

    Ini merupakan pendapat yang asing, Abu Muhammad bin Hazm menukilkan dalam kitabnya “Al-Muhalla” dari sekelompok sahabat dan tabi’in. Riwayat dari mereka tersebut terdapat koreksi. Wallahu a’lam, Karena didapati pada sunnah bahwa Rasulullah keluar pada bulan Ramadhan untuk perang Fathul Makkah. Beliau berjalan, hingga sampai pada suatu tempat, beliau berbuka, dan memerintahkan sahabat-sahabatnya untuk berbuka (diriwayatkan Bukhari dan Muslim).

    1.

    Sebagian sahabat dari tabi’in berpendapat tentang wajibnya berbuka ketika berpergian, karena firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

    فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

    “Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu”.

    Yang benar adalah perkataan jumhur ulama : Bahwa masalah ini adalah boleh puasa atau berbuka dan bukan wajib. Karena dahulu sahabat-sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam keluar bersama Rasulullah dalam bulan Ramadhan, seorang sahabat berkata : (diantara kita ada yang berpuasa dan ada juga yang berbuka, tidaklah seorang yang berpuasa mencela yang berbuka, dan tidaklah orang yang berbuka mencela yang berpuasa). Seandainya berbuka itu wajib, niscaya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengingkari yang berbuka namun yang terdapat dari perbuatan Rasulullah, bahwa beliau pada semisal keadaan ini berpuasa, seperti yang terdapat pada shohih Bukhari dan Muslim dari Abu Darda ia berkata : ‘Kami bepergian bersama Rasulullah pada bulan ramadhan dalam suasana yang sangat panas, sehingga diantara kita ada yang meletakkan tangannya diatas kepalanya, lantaran sangat panas. Dan tidaklah ada yang berpuasa diantara kita kecuali Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan Abdullah bin Rawahah.

    1.

    Berkata sekelompok ulama, diantaranya Imam Syafi’i : Berpuasa ketika bepergian adalah lebih utama dari berbuka, berdasarkan perbuatan Rasulullah sebagaimana Hadits diatas. Sekelompok yang lain berkata : Bahkan berbuka adalah lebih utama karena mengambil keringanan. Sekelompok yang lainnya berkata keduanya sama, sebagaimana Hadits ‘Aisyah bahwa Hamzah bin Amru al-Aslami berkata : Wahai Rasulullah, saya banyak berpuasa, apakah boleh saya berpuasa ketika bepergian?. Beliau bersabda : Jika engkau berkehendak maka puasalah, dan jika engkau berkehendak untuk berbuka, maka berbukalah (Hadits ini terdapat dalam shahihain). Dan dikatakan : Jika berpuasa berat baginya (musafir) maka berbuka lebih utama, karena Hadits Jabir bahwa Rasulullah melihat seorang lelaki dikerumuni maka beliau bersabda : Apa ini ?. Mereka berkata : Seorang yang berpuasa. Lalu beliau bersabda : Bukanlah termasuk kebajikan berpuasa ketika safar (diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim).

    Adapun jika ia menolak sunnah (berpuasa tatkala safar) dan berpendapat makruhnya berbuka maka orang seperti ini wajib berbuka dan diharamkan baginya berpuasa, demikian pula sebaliknya. Saya (Syaikh Salim al Hilali) berkata : Hadits-Hadits tersebut memberi faidah pilihan, bukanlah keutamaan, akan tetapi keutamaan berbuka dari berpuasa (ketika safar) didasarkan kepada Hadits-Hadits yang umum, seperti sabda Nabi yang dikeluarkan oleh Ahmad, Ibnu Hibban dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu dengan sanad shahih : Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala menyukai keringanan-Nya diamalkan sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala membenci kemaksiatan-Nya didatangi.

    Namun hal tersebut dibatasi bagi orang yang tidak ada kesulitan atasnya untuk mengqadha dan menunaikannya, agar keringanan (berbuka dalam safar) tidak menyimpang dari tujuan yang dimaksud. Sungguh hal itu telah dijelaskan dengan tidak ada kesamaran padanya (sebagaimana telah diriwayatkan). Dari Abu Said al Khudri dalam sunan Tirmidzi dengan sanad shahih bahwa para sahabat berpendapat orang yang mempunyai kekuatan kemudian berpuasa (dalam safar) maka (hal itu) baik, dan barang siapa lemah kemudian berbuka (dalam safar) (hal itu) baik.



    Ketahuilah wahai saudaraku seiman -semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi kepadamu petunjuk dan ketaqwaan dan memberimu pemahaman dalam agama-, bahwa puasa ketika bepergian apabila hal itu terasa berat bagi seorang hamba maka bukanlah suatu kebaikan sama sekali, bahkan berbuka itu lebih utama dan lebih disukai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yang membenarkan (perkataan ini) Hadits yang diriwayatkan lebih dari seorang sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam beliau bersabda : “Bukanlah termasuk kebaikan berpuasa ketika bepergian!”.

    1.

    Qadha (mengganti puasa di hari lain) apakah wajib dilaksanakan berturut-turut atau boleh terpisah? Pada masalah ini ada dua perdapat :

    Yang pertama : wajib berturut-turut, karena qadha (mengganti) menyamai yang diganti.

    Yang kedua : Tidak wajib berturut-turut, tetapi jika ia berkehendak, (dapat) dilakukan berturut-turut. Ini perkataan jumhur salaf dan khalaf, dan perkataan ini dalil-dalilnya kokoh. Yang mana berturut-turut hanyalah wajib dalam satu bulan, karena harusnya menunaikan pada bulan Ramadhan. Adapun sesudah berlalunya Ramadhan, maka yang dimaksud adalah puasa hari-hari tertentu (untuk mengganti) hari berbuka, oleh karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

    فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

    ”Maka wajiblah ia berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan” Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

    يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

    “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (al Baqarah : 185)”



    Saya (Syekh Salim al Hilali) berkata: Apa yang dipilih oleh Al-’Allaamah An-Nahrir Ibnu Katsir itulah yang benar, lihatlah perinciannya dengan dalil-dalilnya dalam kitab kami “Sifat Puasa Nabi di Ramadhan”.



    Faedah :

    Sebagian manusia mengira bahwa berbuka pada hari-hari ketika bepergian tidak diperbolehkan, sehingga mereka mencela orang yang mengambil rukhsah (keringanan untuk berbuka dari Allah Subhanahu wa Ta’ala tersebut) atau menganggap puasa lebih utama karena mudahnya transportasi dan terpenuhi sarana-sarananya. Kami ingatkan bagi mereka akan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Mengetahui baik yang ghaib ataupun terang (jelas).

    وَمَا كاَنَ رَبُّكَ نَسِيَّا

    “Dan tidaklah Tuhan mu lupa. (Maryam : 64)”. Dan firman-Nya :

    وَاللهُ يَعْلَمُ وَ أَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُوْنَ

    “Dan Allah mengetahi sedang kamu tidak mengetahui. (Al Baqarah : 232)”.

    Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dipertengahan ayat yang menyebutkan keringanan berbuka dalam bepergian. Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

    يُرِيْدُ اللهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيْدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

    “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. (al Baqarah : 185).

    Artinya : Sesungguhnya kemudahan dan keringanan bagi musafir satu perkara yang diinginkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala , dan hal itu termasuk dari tujuan syariat yang memberikan kelapangan, terlebih lagi yang membuat syariat agama adalah pencipta zaman, tempat dan manusia. Dia-lah Allah Subhanahu wa Ta’ala Dzat yang lebih tahu kebutuhan manusia dan yang terbaik bagi mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

    أَلاَ يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ

    “Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan laksanakan), dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui. (al Mulk : 14)”.

    Kita menulis hal ini agar setiap orang muslim tahu bahwa apabila Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya mewajibkan suatu perkara, tidak ada pilihan bagi mereka dari perintah-Nya, namun seorang muslim akan melaksanakan bersama hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta’ala yang beriman dan berendah diri, yang mana mereka tidak mendahulukan selain perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya (kami dengar dan taat, ampunilah kami ya Allah Subhanahu wa Ta’ala , kepada-Mu-lah kami kembali).

    Petunjuk Puasa

    Assalaamu'alaikum Wr. Wb.
    Berikut ini adalah petunjuk singkat mengenai puasa yang meliputi : Segi hukumnya, golongan manusia dalam soal puasa, hal-hal yang membatalkan puasa dan beberapa keutamaannya.
    -Puasa adalah ibadah yang dilaksanakan dengan jalan meninggalkan segala yangmenyebabkan batalnya puasa sejak terbit fajar hingga terbenam matahari.

    -Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam yang agung, sebagaimana
    sabda Nabi SAW,
    "Islam itu didirikan di atas lima perkara; Bersaksi tiada sesembahan yang
    hak melainkan Allah dan bersaksi bahwa Muhammad itu utusan Allah, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, puasa Ramadhan dan berhaji ke Baitullah." (Muttafaq 'alaih)

    Golongan Manusia dalam Berpuasa.

    Puasa diwajibkan kepada setiap muslim, baligh, mampu dan bukan dalam keadaan musafir (bepergian).

    Orang kafir tidak diwajibkan berpuasa dan jika ia masuk Islam tidak
    diwajibkan mengqadha' (mengganti) puasa yang ditinggalkannya selama ia belum
    masuk Islam.

    Anak kecil di bawah usia baligh tidak diwajibkan berpuasa, tetapi dianjurkan
    untuk dibiasakan berpuasa.

    Orang gila tidak wajib berpuasa dan tidak dituntut untuk mengganti puasa
    dengan memberi makan, walau pun sudah baligh. Begitu pula orang yang kurang akalnya dan orang pikun.

    Orang yang sudah tidak mampu untuk berpuasa disebabkan penyakit, usia
    lanjut, sebagai pengganti puasa ia harus memberi makan setiap hari satu
    orang miskin (membayar fidyah).

    Bagi seseorang yang sakit dan penyakitnya masih ada kemungkinan untuk dapat disembuhkan, jika ia merasa berat untuk menjalankan puasa, maka dibolehkan baginya tidak berpuasa, tetapi harus mengqadha'nya setelah sembuh.

    Wanita yang sedang hamil atau sedang menyusui jika dengan puasa ia merasa
    khawatir terhadap kesehatan dirinya dan anaknya, maka dibolehkan tidak
    berpuasa dan kemudian mengqadha'nya di hari yang lain.

    Wanita yang sedang dalam keadaan haidh atau dalam keadaan nifas, tidak boleh berpuasa dan harus mengqadha'nya pada hari yang lain.

    Orang yang terpaksa berbuka puasa karena hendak menyelamatkan orang yang hampir tenggelam atau terbakar, maka ia mengqadha' puasa yang ditinggalkan itu pada hari yang lain.

    Bagi musafir boleh memilih antara berpuasa dan tidak berpuasa. Jika memilih
    tidak berpuasa, maka ia harus mengqadha'nya di hari yang lain. Hal ini
    berlaku bagi musafir sementara, seperti berpergian untuk melaksanakan umrah,
    atau musafir tetap, seperti sopir truk dan bus (luar kota), maka bagi mereka
    boleh tidak berpuasa selama mereka tinggal di daerah (negeri) orang lain dan
    harus mengqadha'nya.

    Beberapa Rukhsah yang Tidak Membatalkan Puasa.

    Jika seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang membatalkan puasa disebabkan lupa atau tidak mengerti atau pun tidak sengaja, maka puasanya tidak batal.
    Berdasarkan ayat, "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah." (QS. al-Baqarah : 286)

    "Dan tiada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang
    ada dosanya) adalah yang disengaja di hatimu." (QS. al-Ahzab : 5)

    Jika orang yang sedang berpuasa makan dan mimun karena ia yakin bahwa
    matahari telah terbenam, maka puasanya tidak batal; dan tidak batal pula
    puasa orang yang makan dan minum karena yakin bahwa fajar belum terbit
    (padahal yang sebenarnya waktu sahur telah habis, red).

    Jika orang yang sedang berpuasa berkumur, lalu masuk sebagian air ke dalam
    tenggorokannya tanpa sengaja, maka puasanya tidak batal. Dan tidak batal
    puasa seseorang yang ketika tidur bermimpi (hingga keluar mani), karena
    tidak ada nash yang menyatakan hal tersebut batal.

    Hal-hal yang Membatalkan Puasa

    1. Melakukan jima' (hubungan intim suami istri) pada siang hari Ramadhan bagi
    yang sedang berpuasa, maka wajib mengqadha' puasanya dan membayar kafarah mughallazhah (denda berat) yaitu dengan memerdekakan seorang hamba sahaya. Jika tidak mendapatkan hamba sahaya maka wajib baginya berpuasa selama dua bulan berturut-turut. Dan jika tidak mampu, maka ia berkewajiban memberi makan enam puluh orang miskin.

    2. Mengeluarkan air mani dengan cara onani atau masturbasi, mencium, memeluk,merangkul dan lain-lainnya.

    3. Makan minum atau menghisap sesuatu, baik yang bermanfaat atau yang berbahaya seperti rokok.

    4. Menyuntikkan obat yang dapat mengenyangkan dan dapat menahan rasa lapar, karena melakukan itu berarti sama dengan minum. Sedang menyuntikkan obat yang tidak mengenyangkan, maka hal tesebut tidak membatalkan puasa, walaupun disuntikkan pada otot atau urat nadi, baik terasa di kerongkongan atau tidak.

    5. Keluar darah haidh dan nifas
    Mengeluarkan darah dengan jalan hijamah (membekam) atau yang serupa. Sedang keluar darah dengan sendirinya atau karena mencabut gigi dan yang
    semisalnya, tidak membatalkan puasa, karena hal tersebut tidak termasuk
    dalam pengertian hijamah.

    6. Muntah disengaja, tetapi jika muntah tanpa disengaja atau dibuat-buat, maka tidak batal puasanya.

    7. Transfusi darah.

    Beberapa Petunjuk Berkenaan dengan Masalah Puasa

    Seorang yang dalam keadaan junub tetap harus berniat puasa, meskipun ia
    mandi janabah setelah terbit fajar (Shubuh).

    Wanita yang suci dari haidh sebelum fajar tiba (bulan Ramadhan), maka wajib
    berpuasa walaupun ia mandi besar setelah terbit fajar.

    Diperbolehkan bagi yang sedang berpuasa untuk bersiwak, baik diwaktu pagi
    maupun siang hari, bahkan itu termasuk sunnah Nabi SAW.

    Disunnahkan mengakhirkan sahur, hingga menjelang Fajar dan segera berbuka
    setelah matahari terbenam (Maghrib).Diutamakan berbuka dengan kurma rutab
    (kurma yang masak), jika tidak ada rutab dengan kurma yang lain, dan jika
    tidak ada korma bisa berbuka denga apa saja yang halal atau berbuka dengan
    minum air apabila tidak menjumpai makanan.

    Orang yang sedang berpuasa sangat dianjurkan untuk memperbanyak amalan
    sunnah, seperti shalat sunnah, membaca al- Qur'an, berdzikir dan bershadaqah.

    Nabi SAW bersabda,
    "Barang siapa tidak meninggalkan perkataan sia-sia (palsu), perbuatan tak
    berguna dan kebodohan maka Allah tidak butuh terhadap pusanya (berupa)
    meninggalakan makan dan minumnya." (Muttafaq 'alaih)

    Keutamaan Puasa Ramadhan

    Dengan puasa Ramadhan Allah mengampuni dosa orang yang berpuasa dan
    memaafkan semua kesalahannya,
    Nabi SAW bersabda:
    "Barang siapa berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala
    dari Allah, maka Allah mengampuni dosanya yang telah lalu". (HR. al-Bukhari
    dan Muslim).

    Puasa Ramadhan tidak terhingga pahalanya, karena orang yang berpuasa akan
    mendapatkan pahala tanpa batas. Setiap muslim amalannya akan diganjar
    sebesar 10 hingga 700 kali lipat, kecuali puasa. Firman Allah di dalam
    hadits qudsi,
    "...Kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan
    mengganjarnya, ia menahan nafsu dan makan karena-Ku." (HR. Muslim)

    Puasa dapat membuka pintu syafa'at nanti pada hari Kiamat. Rasulullah SAW
    bersabda,

    "Sesunggunya puasa dan bacaan al-Qur'an memberi syafa'at kepada pelakunya
    pada hari Kiamat. Puasa berkata, "Ya Tuhanku aku telah menahan hasrat makan dan syahwatnya, maka berilah aku izin untuk memberikan syafa'at kepadanya.

    Berkata pula al-Qur'an, "Wahai Tuhanku, aku telah menghalanginya dari tidur
    untuk qiyamullail, maka berilah aku izin untuk memberikan syafa'at
    kepadanya. Nabi bersabda, "Maka keduanya diberikan izin untuk memberi
    syafaat." (HR. Ahmad).

    Sumber: Brosur tentang Puasa Ramadhan, Syaikh Muhammad bin Shalih
    al-Utsaimin, rahimahullah

    Tata Cara Puasa Untuk Adik - adik

    Adik-adik, kakak akan sampaikan inti pembahasan kita, yaitu tata cara berpuasa. Perhatikan ya!
    Kita mulai dengan membahas niat.

    1. NIAT UNTUK PUASA

    Sebelum melaksanakan puasa, kita wajib berniat terlebih dahulu. Puasa kita niatkan sebelum terbit fajar, berdasarkan hadits Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam

    ((مَنْ لَمْ يُجْمَعِ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ))

    “Barangsiapa yang tidak niat untuk melakukan puasa sebelum fajar, maka tidak ada puasa baginya”

    Khusus untuk puasa yang sunnah, kita boleh berniat puasa setelah fajar terbit apabila sebelumnya kita belum makan. Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam pernah datang ke ‘Aisyah pada selain bulan Romadhon, kemudian beliau bersabda:

    ((هَلْ عِنْدَكُمْ غَدَاَءٌ ؟ وَ إِلاَّ فَإِنِّي صَائِمٌ ))

    “Apakah engkau punya santapan siang? Maka jika tidak ada aku akan berpuasa” (HR. Muslim).

    2. WAKTU PUASA

    Puasa dimulai dari terbitnya fajar hingga hilangnya siang dengan datangnya malam, dengan kata lain hilangnya bundaran matahari di ufuk.

    Dalilnya adalah:

    وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

    Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam (Al-Baqarah: 187)

    3. SAHUR

    Adik-adik, hendaknya sebelum melaksanakan ibadah puasa, kita makan sahur terlebih dahulu. Kita disunahkan untuk mengakhirkan makan sahur sesaat menjelang tibanya waktu subuh. Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik berikut:

    “Kami makan sahur bersama Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau shalat” Aku tanyakan (kata Anas), “Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?” Zaid menjawab, “Kira-kira 50 ayat membaca Al-Qur’an” (HR. Al-Bukhori dan Muslim)

    Makan sahur yang diperintahkan oleh Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam memiliki beberapa hikmah, antara lain:

    1. Membedakan puasa kita dengan puasanya Ahul Kitab (orang Yahudi dan Nashoro):
    Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    (( فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ، أكْلَةُ السَّحَرِ))

    “Pembeda antara puasa kita dengan puasanya ahli kitab adalah makan sahur” (HR. Muslim)

    2. Makan Sahur adalah Barokah

    Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    (( تَسَحَّرُوْا فَإِنَّ فِي السُّحُوْرِ بَرَكَةً ))

    “Makan sahurlah kalian karena dalam sahur ada barakah” (HR. Al-Bukhori dan Muslim).

    Dengan makan sahur, berarti kita telah mengikuti sunnahnya Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Selain itu, sahur juga akan menguatkan badan, menambah semangat, serta membuat puasa menjadi lebih ringan.

    Adik-adikku sayang, sebagian kaum muslimin memiliki kebiasaan yang jelek ketika sahur. Mereka biasanya melakukan sahur dalam waktu yang lama sebelum subuh tiba, kemudian tidur lagi sampai subuh berlalu. Ini mengakibatkan mereka jatuh kepada beberapa kesalahan:
    1. Berpuasa sebelum waktunya
    2. Meninggalkan shalat jamaah
    3. Terkadang karena tidurnya terlalu nyenyak, mereka bangun kesiangan dan kehilangan sholat sama sekali

    Oleh karena itu hendaknya waktu sahur kita akhirkan dan sebaiknya setelah sahur, kita jangan tidur lagi. Persiapkanlah diri kita untuk shalat subuh yang akan segera tiba.

    4. PERKARA YANG MEMBATALKAN PUASA

    Adik-adik, barokallahu fiikum. Kalian harus mengetahui perkara-perkara yang bisa membatalkan puasa. Di antara perkara-perkara tersebut kita adalah:

    1. Makan dan Minum
    Apabila kita makan atau minum di siang hari sewaktu puasa, maka puasa kita batal. Kecuali jika kita lupa sedang puasa, maka makan dan minum itu tidaklah membatalkan puasa kita. Kita bisa melanjutkan puasa kita secara sempurna.

    Dalilnya adalah hadits Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam,

    (( مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمّ، فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ، فَلْيَتِمْ صَوْمَهُ. فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ))

    “Jika seseorang lupa ketika ia berpuasa, lalu dia makan dan minum, maka hendaklah menyempurnakan puasanya, karena sesungguhnya Allah yang memberinya makan dan minum.” (HR. Al-Bukhori dan Muslim).

    2. Muntah dengan Sengaja
    Muntah dengan sengaja dapat membatalkan puasa. Dalilnya adalah hadits Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam:

    (( مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ وَإِنِ اسْتَقَاءَ فَلْيَقَضِ ))

    “Barangsiapa yang terpaksa muntah, maka tidak wajib baginya untuk mengqadha (mengganti) puasanya, dan barangsiapa muntah dengan sengaja, maka wajib baginya mengqadha puasanya”.

    Sebenarnya ada beberapa hal lain yang bisa membatalkan puasa. Insya Allah kalian bisa mempelajarinya ketika kalian beranjak dewasa.

    5. PERKARA YANG WAJIB DITINGGALKAN KETIKA PUASA

    Adik-adik, selain menjaga mulut kita dari makan dan minum, ketika berpuasa kita juga harus menjaga mulut kita dari berkata-kata kotor, keji dan dusta. Perbuatan ini memang tidak boleh kita lakukan baik di ketika berpuasa ataupun tidak. Namun hal ini lebih ditekankan lagi apabila kita sedang berpuasa.

    Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    (( مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلّهِ حَاجَةٌ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ))

    “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan melakukannya, maka Allah Azza wa Jalla tidaklah butuh atas perbuatannya meninggalkan makan dan minum” (HR. Al-Bukhori)

    (( لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ اْلأَكْلِ وَالشَّرَبِ إِنَّمَا الصَّيَامَ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ فَإِنْ سَابَكَ أَحَدٌ اَوْجَهِلَ عَلَيْكَ فَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ , إِنِّي صَائِمٌ ))

    “Puasa bukanlah dari makan, minum (semata), tetapi puasa itu menahan diri dari perbuatan sia-sia dan keji. Jika ada orang yang mencelamu atau tidak mengetahui perkaramu, maka, katakanlah: Aku sedang puasa, aku sedang puasa”

    Oleh karena itu, jagalah lisanmu dari berkata-kata yang kotor, keji dan dusta agar puasamu tidak sia-sia, sebagaimana sabda Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam,

    (( وَرُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوْعِ وَالْعَطَشِ ))

    “Berapa banyak orang yang puasa, bagian dari puasanya hanyalah lapar dan haus (semata)”

    6. YANG BOLEH DILAKUKAN KETIKA PUASA

    1. Bersiwak
    Kalian tahu siwak kan? Siwak itu kayu berukuran kecil yang dipergunakan untuk membersihkan gigi. Ketika sedang berpuasa, kita boleh mempergunakannya untuk membersihkan gigi kita, terutama ketika akan sholat.

    Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

    (( لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي َلأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوِاكِ عِنْدَ كُلَّ صَلاَةٍ))

    “Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku suruh mereka untuk bersiwak setiap kali akan sholat” (HR. Al-Bukhori dan Muslim).

    2. Berkumur dan Istinsyaq (Memasukkan Air ke dalam Hidung ketika Berwudhu)
    Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk bersungguh-sungguh di dalam melakukan istinsyaq. Namun beliau melarang untuk berlebih-lebihan apabila sedang berpuasa. Beliau bersabda,

    ((وَبَالِغْ فِي اْلإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِماً))

    “Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali dalam keadaan puasa”

    3. Mengguyurkan Air ke Atas Kepala karena Panas atau Haus
    Apabila kita merasa kepanasan atau haus, maka kita diperbolehkan untuk mengguyurkan air ke kepala kita. Dalilnya adalah hadits,

    كَانَ رَسُوْلُ اللهِ  يَصُبُّ الْمَاءَ عَلَى رَأْسِهِ وَهُوَ صَائِمٌ مِنَ الْعَطْشِ أَوْ مِنَ الْحَرِّ

    Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam mengguyurkan air ke kepalanya dalam keadaan puasa karena haus atau kepanasan.

    7. BERBUKA PUASA

    Ketika matahari telah terbenam dan malam hari pun tiba, kita sudah diperbolehkan untuk makan dan minum. Bahkan kita dianjurkan untuk menyegerakan berbuka puasa. Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

    (( لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفِطْرَ ))

    “Senantiasa manusia berada di dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka puasa” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

    Berbukalah dengan Buah Kurma
    Pada saat berbuka, kita disunnahkan untuk membatalkan puasa kita dengan kurma, baik yang basah maupun yang kering. Namun apabila tidak ada, maka kita berbuka dengan air sebagaimana kebiasaan Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam. Anas bin Malik rodhiyallahu ‘anhu pernah bercerita,

    كاَنَ يُفْطِرُ عَلَى رُطَبَاتٍ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ رُطَبَاتٍ فَعَلَى تَمَرَاتٍ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ حَسَى حَسَوَاتٍ مِنَ مَاءٍ

    “Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam berbuka dengan kurma basah (ruthob) sebelum sholat. Apabila tidak ada yang basah, maka beliau berbuka dengan kurma kering (tamr). Jika tidak ada juga, maka beliau minum dengan satu tegukan air”

    Setelah berbuka (membatalkan puasa) secukupnya, hendaknya kita bersiap-siap untuk shalat maghrib.

    Marhaban Ya Ramadhan


    Ditulis oleh Dr. M. Quraish Shihab, M.A.

    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "marhaban" diartikan sebagai "kata seru untuk menyambut atau menghormati tamu (yang berarti selamat datang)." Ia sama dengan ahlan wa sahlan yang juga dalam kamus tersebut diartikan "selamat datang."
    Walaupun keduanya berarti "selamat datang" tetapi penggunaannya berbeda. Para ulama tidak menggunakan ahlan wa
    sahlan untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan, melainkan "marhaban ya Ramadhan".

    Ahlan terambil dari kata ahl yang berarti "keluarga", sedangkan sahlan berasal dari kata sahl yang berarti mudah.
    Juga berarti "dataran rendah" karena mudah dilalui, tidak seperti "jalan mendaki". Ahlan wa sahlan, adalah ungkapan
    selamat datang, yang dicelahnya terdapat kalimat tersirat yaitu, "(Anda berada di tengah) keluarga dan (melangkaLkar1
    kaki di) dataran rendah yang mudah."

    Marhaban terambil dari kata rahb yang berarti "luas" atau lapang", sehingga marhaban menggambarkan bahwa tamu disambut
    dan diterima dengan dada lapang, penuh kegembiraan serta dipersiapkan baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja
    yang diinginkannya. Dari akar kata yang sama dengan "marhaban", terbentuk kata rahbat yang antara lain berarti
    "ruangan luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau kebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan." Marhaban ya
    Ramadhan berarti "Selamat datang Ramadhan" mengandung arti bahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan;
    tidak dengan menggerutu dan menganggap kehadirannya "mengganggu ketenangan" atau suasana nyaman kita.

    Marhaban ya Ramadhan, kita ucapkan untuk bulan suci itu, karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh
    guna melanjutkan perjalanan menuju Allah SWT.

    Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui-Nya, itulah nafsu. Di gunung itu ada lereng yang curam, belukar
    yang lebat, bahkan banyak perampok yang mengancam, serta iblis yang merayu, agar perjalanan tidak melanjutkan. Bertambah
    tinggi gunung didaki, bertambah hebat ancaman dan rayuan, semakin curam dan ganas pula perjalanan. Tetapi, bila tekad
    tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampak
    tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih untuk melepaskan dahaga. Dan bila perjalanan dilanjutkan akan
    ditemukan kendaraan Ar-Rahman untuk mengantar sang musafir bertemu dengan kekasihnya, Allah Swt. Demikian kurang lebih
    perjalanan itu dilukiskan dalam buku Madarij As-Salikin. Tentu kita perlu mempersiapkan bekal guna menelusuri jalan
    itu. Tahukah Anda apakah bekal itu? Benih-benih kebajikan yang harus kita tabur di lahan jiwa kita. Tekad yang membaja untuk
    memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadhan dengan shalat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada
    Allah melalui pengabdian untuk agama, bangsa dan negara. Semoga kita berhasil, dan untuk itu mari kita buka lembaran
    Al-Quran mempelajari bagaimana tuntunannya.

    PUASA MENURUT AL-QURAN

    Al-Quran menggunakan kata shiyam sebanyak delapan kali, kesemuanya dalam arti puasa menurut pengertian hukum syariat.
    Sekali Al-Quran juga menggunakan kata shaum, tetapi maknanya adalah menahan diri untuk tidak bebicara:

    Sesungguhnya Aku bernazar puasa (shauman), maka hari
    ini aku tidak akan berbicara dengan seorang manusia
    pun (QS Maryam [19]: 26).

    Demikian ucapan Maryam a.s. yang diajarkan oleh malaikat Jibril ketika ada yang mempertanyakan tentang kelahiran
    anaknya (Isa a.s.). Kata ini juga terdapat masing-masing sekali dalam bentuk perintah berpuasa di bulan Ramadhan,
    sekali dalam bentuk kata kerja yang menyatakan bahwa "berpuasa adalah baik untuk kamu", dan sekali menunjuk kepada
    pelaku-pelaku puasa pria dan wanita, yaitu ash-shaimin wash-shaimat.

    Kata-kata yang beraneka bentuk itu, kesemuanya terambil dari akar kata yang sama yakni sha-wa-ma yang dari segi bahasa
    maknanya berkisar pada "menahan" dan "berhenti atau "tidak bergerak". Kuda yang berhenti berjalan dinamai faras shaim.
    Manusia yang berupaya menahan diri dari satu aktivitas --apa pun aktivitas itu-- dinamai shaim (berpuasa). Pengertian
    kebahasaan ini, dipersempit maknanya oleh hukum syariat, sehingga shiyam hanya digunakan untuk "menahan diri dar makan,
    minum, dan upaya mengeluarkan sperma dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari".

    Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan kegiatan yang harus dibatasi selama melakukan puasa. Ini
    mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh bahkan hati dan pikiran dari melakukan segala macam dosa.

    Betapa pun, shiyam atau shaum --bagi manusia-- pada hakikatnya adalah menahan atau mengendalikan diri. Karena itu pula puasa
    dipersamakan dengan sikap sabar, baik dari segi pengertian bahasa (keduanya berarti menahan diri) maupun esensi kesabaran
    dan puasa.

    Hadis qudsi yang menyatakan antara lain bahwa, "Puasa untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran" dipersamakan oleh
    banyak ulama dengan firman-Nya dalam surat Az-Zumar (39): 10.

    Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas.

    Orang sabar yang dimaksud di sini adalah orang yang berpuasa. Ada beberapa macam puasa dalam pengertian syariat/hukum
    sebagaimana disinggung di atas.

    1. Puasa wajib sebutan Ramadhan.

    2. Puasa kaffarat, akibat pelanggaran, atau
    semacamnya.

    3. Puasa sunnah.

    Tulisan ini akan membatasi uraian pada hal-hal yang berkisar pada puasa bulan Ramadhan.

    PUASA RAMADHAN

    Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadhan, ditemukan dalam surat Al-Baqarah (2): 183, 184, 185, dan 187. Ini berarti bahwa
    puasa Ramadhan baru diwajibkan setelah Nabi Saw. tiba di Madinah, karena ulama Al-Quran sepakat bahwa surat A1-Baqarah
    turun di Madinah. Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban melaksanakan puasa Ramadhan ditetapkan Allah pada 10 Sya'ban
    tahun kedua Hijrah.

    Apakah kewajiban itu langsung ditetapkan oleh Al-Quran selama Sebutan penuh, ataukah bertahap? Kalau melihat sikap Al-Quran
    yang seringkali melakukan penahapan dalam perintah- perintahnya, maka agaknya kewajiban berpuasa pun dapat
    dikatakan demikian. Ayat 184 yang menyatakan ayyaman ma'dudat beberapa hari tertentu) dipahami oleh sementara ulama sebagai
    tiga hari dalam sebutan yang merupakan tahap awal dari kewajiban berpuasa. Hari-hari tersebut kemudian diperpanjang
    dengan turunnya ayat 185:

    Barangsiapa di antara kamu yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) pada bulan itu (Ramadhan), maka
    hendaklah ia berpuasa (selama bulan itu), dan siapa yang sakit atau dalam perjalanan, maka wajib baginya
    berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya.

    Pemahaman semacam ini menjadikan ayat-ayat puasa Ramadhan terputus-putus tidak menjadi satu kesatuan. Merujuk kepada
    ketiga ayat puasa Ramadhan sebagai satu kesatuan, penulis lebih cenderung mendukung pendapat ulama yang menyatakan bahwa
    Al-Quran mewajibkannya tanpa penahapan. Memang, tidak mustahil bahwa Nabi dan sahabatnya telah melakukan puasa sunnah
    sebelumnya. Namun itu bukan kewajiban dari Al-Quran, apalagi tidak ditemukan satu ayat pun yang berbicara tentang puasa
    sunnah tertentu.

    Uraian Al-Quran tentang kewajiban puasa di bulan Ramadhan, dimulai dengan satu pendahuluan yang mendorong umat islam
    untuk melaksanakannya dengan baik, tanpa sedikit kekesalan pun.

    Perhatikan surat Al-Baqarah (2): 185. ia dimulai dengan panggilan mesra, "Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan
    kepada kamu berpuasa." Di sini tidak dijelaskan siapa yang mewajibkan, belum juga dijelaskan berapa kewajiban puasa itu,
    tetapi terlebih dahulu dikemukakan bahwa, "sebagaimana diwajibkan terhadap umat-umat sebelum kamu." Jika demikian,
    maka wajar pula jika umat Islam melaksanakannya, apalagi tujuan puasa tersebut adalah untuk kepentingan yang berpuasa
    sendiri yakni "agar kamu bertakwa (terhindar dari siksa)."

    Kemudian Al-Quran dalam surat A1-Baqarah (2): 186 menjelaskan bahwa kewajiban itu bukannya sepanjang tahun, tetapi hanya
    "beberapa hari tertentu," itu pun hanya diwajibkan bagi yang berada di kampung halaman tempat tinggalnya, dan dalam keadaan
    sehat, sehingga "barangsiapa sakit atau dalam perjalanan," maka dia (boleh) tidak berpuasa dan menghitung berapa hari ia
    tidak berpuasa untuk digantikannya pada hari-hari yang lain. Sedang yang merasa sangat berat berpuasa, maka (sebagai
    gantinya) dia harus membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin." Penjelasan di atas ditutup dengan pernyataan
    bahwa "berpuasa adalah baik."

    Setelah itu disusul dengan penjelasan tentang keistimewaan bulan Ramadhan, dan dari sini datang perintah-Nya untuk
    berpuasa pada bulan tersebut, tetapi kembali diingatkan bahwa orang yang sakit dan dalam perjalanan (boleh) tidak berpuasa
    dengan memberikan penegasan mengenai peraturan berpuasa sebagaimana disebut sebelumnya. Ayat tentang kewajiban puasa
    Ramadhan ditutup dengan "Allah menghendaki kemudahdn untuk kamu bukan kesulitan," lalu diakhiri dengan perintah bertakbir
    dan bersyukur. Ayat 186 tidak berbicara tentang puasa, tetapi tentang doa. Penempatan uraian tentang doa atau penyisipannya
    dalam uraian Al-Quran tentang puasa tentu mempunyai rahasia tersendiri. Agaknya ia mengisyaratkan bahwa berdoa di bu1an
    Ramadhan merupakan ibadah yang sangat dianjurkan, dan karena itu ayat tersebut menegaskan bahwa "Allah dekat kepada
    hamba-hamba-Nya dan menerima doa siapa yang berdoa."

    Selanjutnya ayat 187 antara lain menyangkut izin melakukan hubungan seks di malam Ramadhan, di samping penjelasan tentang
    lamanya puasa yang harus dikerjakan, yakni dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari.

    Banyak informasi dan tuntunan yang dapat ditarik dari ayat-ayat di atas berkaitan dengan hukum maupun tujuan puasa.
    Berikut akan dikemukan sekelumit baik yang berkaitan dengan hukum maupun hikmahnya, dengan menggarisbawahi kata atau
    kalimat dari ayat-ayat puasa di atas.

    BEBERAPA ASPEK HUKUM BERKAITAN DENGAN PUASA

    a. Faman kana minkum maridha (Siapa di antara kamu
    yang menderita sakit)

    Maridh berarti sakit. Penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa secara garis besar dapat dibagi dua:

    1. Penderita tidak dapaat berpuasa; dalam hal ini ia wajib berbuka; dan

    2. Penderita dapat berpuasa, tetapi dengan mendapat kesulitan atau keterlambatan penyembuhan, maka ia
    dianjurkan tidak berpuasa.

    Sebagian ulama menyatakan bahwa penyakit apa pun yang diderita oleh seseorang, membolehkannya untuk berbuka. Ulama besar ibnu
    Sirin, pernah ditemui makan di siang hari bukan Ramadhan, dengan alasan jari telunjuknya sakit. Betapa pun, harus
    dicatat, bahwa Al-Quran tidak merinci persolan ini. Teks ayat mencakup pemahaman ibnu Sirin tersebut. Namun demikian agaknya
    kita dapat berkata bahwa Allah Swt. sengaja memilih redaksi demikian, guna menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing
    untuk menentukan sendiri apakah ia berpuasa atau tidak. Di sisi lain harus diingat bahwa orang yang tidak berpuasa dengan
    alasan sakit atau dalam perjalanan tetap harus menggantikan hari-hari ketika ia tidak berpuasa dalam kesempatan yang lain.

    b. Aw'ala safarin (atau dalam perjalanan)

    Ulama-ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir. Perbedaan tersebut berkaitan
    dengan jarak perjalanan. Secara umum dapat dikatakan bahwa jarak perjalanan tersebut sekitar 90 kilometer, tetapi ada
    juga yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga seberapa pun jarak yang ditempuh selama dinamai safar atau perjalanan,
    maka hal itu merupakan izin untuk memperoleh kemudahan (rukhshah).

    Perbedaan lain berkaitan dengan 'illat (sebab) izin ini. apakah karena adanya unsur safar (perjalanan) atau unsur
    keletihan akibat perjalanan. Di sini, dipermasalahkan misalnya jarak antara Jakarta-Yogya yang ditempuh dengan pesawat kurang
    dari satu jam, serta tidak meletihkan, apakah ini dapat dijadikan alasan untuk berbuka atau meng-qashar shalat atau
    tidak. Ini antara lain berpulang kepada tinjauan sebab izin ini.

    Selanjutnya mereka juga memperselisihkan tujuan perjalanan yang membolehkan berbuka (demikian juga qashar dan menjamak
    shalat). Apakah perjalanan tersebut harus bertujuan dalam kerangka ketaatan kepada Allah, misalnya perjalanan haji,
    silaturahmi, belajar, atau termasuk juga perjalanan bisnis dan mubah (yang dibolehkan) seperti wisata dan sebagainya? Agaknya
    alasan yang memasukkan hal-hal di atas sebagai membolehkan terbuka, lebih kuat, kecuali jika perjalanan tersebut untuk
    perbuatan maksiat, maka tentu yang bersangkutan tidak memperoleh izin untuk berbuka dan atau menjamak shalatnya.
    Bagaimana mungkin orang yang durhaka memperoleh rahmat kemudahan dari Allah Swt.?

    Juga diperselisihkan apakah yang lebih utama bagi seorang musafir, berpuasa atau berbuka? Imam Malik dan imam Syafi'i
    menilai bahwa berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian besar ulama bermazhab Maliki dan
    Syafi'i menilai bahwa hal ini sebaiknya diserahkan kepada masing-masing pribadi, dalam arti apa pun pilihannya, maka
    itulah yang lebih baik dan utama. Pendapat ini dikuatkan oleh sebuah riwayat dari imam Bukhari dan Muslim melalui Anas bin
    Malik yang menyatakan bahwa, "Kami berada dalam perjalanan di bulan Ramadhan, ada yang berpuasa dan adapula yang tidak
    berpuasa. Nabi tidak mencela yang berpuasa, dan tidak juga (mereka) yang tidak berpuasa."

    Memang ada juga ulama yang beranggapan bahwa berpuasa lebih baik bagi orang yang mampu. Tetapi, sebaliknya, ada pula yang
    menilai bahwa berbuka lebih baik dengan alasan, ini adalah izin Allah. Tidak baik menolak izin dan seperti penegasan
    Al-Quran sendiri dalam konteks puasa, "Allah menghendaki kemudahan untuk kamu dan tidak menghendaki kesulitan."

    Bahkan ulama-ulama Zhahiriyah dan Syi'ah mewajibkan berbuka, antara lain berdasar firman-Nya dalam lanjutan ayat di atas,
    yaitu:

    c. Fa 'iddatun min ayyamin ukhar (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari lain).

    Ulama keempat mazhab Sunnah menyisipkan kalimat untuk meluruskan redaksi di atas, sehingga terjemahannya lebih
    kurang berbunyi, "Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan dan ia tidak berpuasa), maka (wajib baginya berpuasa)
    sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain."

    Kalimat "lalu ia tidak berpuasa" adalah sisipan yang oleh lama perlu adanya, karena terdapat sekian banyak hadis yang
    membolehkan berpuasa dalam perjalanan, sehingga kewajiban pengganti itu, hanya ditujukan kepada para musafir dan orang
    yang sakit tetapi tidak berpuasa.

    Sisipan semacam ini ditolak oleh ulama Syi'ah dan Zhahiriyah, sehingga dengan demikian --buat mereka-- menjadi wajib bagi
    orang yang sakit dan dalam perjalanan untuk tidak berpuasa, dan wajib pula menggantinya pada hari-hari yang lain seperti
    bunyi harfiah ayat di atas.

    Apakah membayar puasa yang ditinggalkan itu harus berturut-turut? Ada sebuah hadis --tetapi dinilai lemah-- yang
    menyatakan demikian. Tetapi ada riwayat lain melalui Aisyah r.a. yang menginformasikan bahwa memang awalnya ada kata pada
    ayat puasa yang berbunyi mutatabi'at, yang maksudnya memerintahkan penggantian (qadha') itu harus dilakukan
    bersinambung tanpa sehari pun berbuka sampai selesainya jumlah yang diwajibkan. Tetapi kata mutatabi'at dalam fa 'iddatun min
    ayyamin ukhar mutatabi'at yang berarti berurut atau bersinambung itu, kemudian dihapus oleh Allah Swt. Sehingga
    akhirnya ayat tersebut tanpa kata ini, sebagaimana yang tercantum dalam Mushaf sekarang.

    Meng-qadha' (mengganti) puasa, apakah harus segera, dalam arti harus dilakukannya pada awal Syawal, ataukah dapat
    ditangguhkan sampai sebelum datangnya Ramadhan berikut? Hanya segelintir kecil ulama yang mengharuskan sesegera mungkin,
    namun umumnya tidak mengharuskan ketergesaan itu, walaupun diakui bahwa semakin cepat semakin baik. Nah, bagaimana kalau
    Ramadhan berikutnya sudah berlalu, kemudian kita tidak sempat penggantinya, apakah ada kaffarat akibat keterlambatan itu?
    Imam Malik, Syafi'i, dan Ahmad, berpendapat bahwa di samping berpuasa, ia harus membayar kaffarat berupa memberi makan
    seorang miskin; sedangkan imam Abu Hanifah tidak mewajibkan kaffarat dengan alasan tidak dicakup oleh redaksi ayat di
    atas.d. Wa 'alal ladzina yuthiqunahu fidyatun tha'amu
    miskin (Dan wajib bagi orang yang berat
    menjalankannya membayar fidyah, (yaitu): memberi
    makan seorang miskin) (QS Al-Baqarah [2]: 184).

    Penggalan ayat ini diperselisihkan maknanya oleh banyak ulama tafsir. Ada yang berpendapat bahwa pada mulanya Allah Swt.
    memberi alternatif bagi orang yang wajib puasa, yakni berpuasa atau berbuka dengan membayar fidyah. Ada juga yang be~pendapat
    bahwa ayat ini berbicara tentang para musafir dan orang sakit, yakni bagi kedua kelompok ini terdapat dua kemungkinan:
    musafir dan orang yang merasa berat untuk berpuasa, maka ketika itu dia harus berbuka; dan ada juga di antara mereka,
    yang pada hakikatnya mampu berpuasa, tetapi enggan karena kurang sehat dan atau dalam perjalanan, maka bagi mereka
    diperbolehkan untuk berbuka dengan syarat membayar fidyah. Pendapat-pendapat di atas tidak populer di kalangan mayoritas
    ulama. Mayoritas memahami penggalan ini berbicara tentang orang-orang tua atau orang yang mempunyai pekerjaan yang
    sangat berat, sehingga puasa sangat memberatkannya, sedang ia tidak mempunyai sumber rezeki lain kecuali pekerjaan itu. Maka
    dalam kondisi semacam ini. mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa dengan syarat membayar fidyah. Demikian juga halnya
    terhadap orang yang sakit sehingga tidak dapat berpuasa, dan diduga tidak akan sembuh dari penyakitnya. Termasuk juga dalam
    pesan penggalan ayat di atas adalah wanita-wanita hamil dan atau menyusui. Dalam hal ini terdapat rincian sebagai berikut:

    Wanita yang hamil dan menyusui wajib membayar fidyah dan mengganti puasanya di hari lain, seandainya yang mereka
    khawatirkan adalah janin atau anaknya yang sedang menyusui. tetapi bila yang mereka khawatirkan diri mereka, maka mereka
    berbuka dan hanya wajib menggantinya di hari lain, tanpa harus membayar fidyah.

    Fidyah dimaksud adalah memberi makan fakir/miskin setiap hari selama ia tidak berpuasa. Ada yang berpendapat sebanyak
    setengah sha' (gantang) atau kurang lebih 3,125 gram gandum atau kurma (makanan pokok). Ada juga yang menyatakan satu mud
    yakni sekitar lima perenam liter, dan ada lagi yang mengembalikan penentuan jumlahnya pada kebiasaan yang berlaku
    pada setiap masyarakat.

    e. Uhilla lakum lailatash-shiyamir-rafatsu ila
    nisa'ikum (Dihalalkan kepada kamu pada malam Ramadhan
    bersebadan dengan istri-istrimu) (QS Al-Baqarah [2]:
    187)

    Ayat ini membolehkan hubungan seks (bersebadan) di malam hari bulan Ramadhan, dan ini berarti bahwa di siang hari Ramadhan,
    hubungan seks tidak dibenarkan. Termasuk dalam pengertian hubungan seks adalah "mengeluarkan sperma" dengan cara apa
    pun. Karena itu walaupun ayat ini tak melarang ciuman, atau pelukan antar suami-istri, namun para ulama mengingatkan bahwa
    hal tersebut bersifat makruh, khususnya bagi yang tidak dapat menahan diri, karena dapat mengakibatkan keluarnya sperma.
    Menurut istri Nabi, Aisyah r.a., Nabi Saw. pernah mencium istrinya saat berpuasa. Nah, bagi yang mencium atau apa pun
    selain berhubungan seks, kemudian ternyata "basah", maka puasanya batal; ia harus menggantinya pada hari 1ain. Tetapi
    mayoritas ulama tidak mewajibkan yang bersangkutan membayar kaffarat, kecuali jika ia melakukan hubungan seks (di siang
    hari), dan kaffaratnya dalam hal ini berdasarkan hadis Nabi adalah berpuasa dua bulan berturut-turut. Jika tidak mampu,
    maka ia harus memerdekakan hamba. Jika tidak mampu juga, maka ia harus memberi makan enam puluh orang miskin.

    Bagi yang melakukan hubungan seks di malam hari, tidak harus mandi sebelum terbitnya fajar. Ia hanya berkewajiban mandi
    sebelum terbitnya matahari --paling tidak dalam batas waktu yang memungkinkan ia shalat subuh dalam keadaan suci pada
    waktunya. Demikian pendapat mayoritas ulama.
    f. Wakulu wasyrabu hatta yatabayyana lakumul khaith
    al-abyadhu minal khaithil aswadi minal fajr (Makan
    dan minumlah sampai terang bagimu benang putih dan
    benang hitam, yaitu fajar).

    Ayat ini membolehkan seseorang untuk makan dan minum (juga melakukan hubungan seks) sampai terbitnya fajar.

    Pada zaman Nabi, beberapa saat sebelum fajar, Bilal mengumandangkan azan, namun beliau mengingatkan bahwa bukan
    itu yang dimaksud dengan fajar yang mengakibatkan larangan di atas. Imsak yang diadakan hanya sebagai peringatan dan
    persiapan untuk tidak lagi melakukan aktivitas yang terlarang. Namun bila dilakukan, maka dari segi hukum masih dapat
    dipertanggungjawabkan selama fajar (waktu subuh belum masuk). Perlu dingatkan, bahwa hendaknya kita jangan terlalu
    mengandalkan azan, karena boleh jadi muazin mengumandangkan azannya setelah berlalu beberapa saat dari waktu subuh. Karena
    itu sangat beralasan untuk menghentikan aktivitas tersebut saat imsak.

    g. Tsumma atimmush shiyama ilal lail (Kemudian
    sempurnakanlah puasa itu sampai malam).

    Penggalan ayat ini datang setelah ada izin untuk makan dan minum sampai dengan datangnya fajar.

    Puasa dimulai dengan terbitnya fajar, dan berakhir dengan datangnya malam. Persoalan yang juga diperbincangkan oleh para
    ulama adalah pengertian malam. Ada yang memahami kata malam dengan tenggelamnya matahari walaupun masih ada mega merah,
    dan ada juga yang memahami malam dengan hilangnya mega merah dan menyebarnya kegelapan. Pendapat pertama didukung oleh
    banyak hadis Nabi Saw., sedang pendapat kedua dikuatkan oleh pengertian kebahasaan dari lail yang diterjemahkan "malam".
    Kata lail berarti "sesuatu yang gelap" karenanya rambut yang berwarna hitam pun dinamai lail.

    Pendapat pertama sejalan juga dengan anjuran Nabi Saw. untuk mempercepat berbuka puasa, dan memperlambat sahur pendapat
    kedua sejalan dengan sikap kehatian-hatian karena khawatir magrib sebenarnya belum masuk.

    Demikian sedikit dari banyak aspek hukum yang dicakup oleh ayat-ayat yang berbicara tentang puasa Ramadhan.

    TUJUAN BERPUASA

    Secara jelas Al-Quran menyatakan bahwa tujuan puasa yang hendaknya diperjuangkan adalah untuk mencapai ketakwaan atau
    la'allakum tattaqun. Dalam rangka memahami tujuan tersebut agaknya perlu digarisbawahi beberapa penjelasan dari Nabi Saw.
    misalnya, "Banyak di antara orang yang berpuasa tidak memperoleh sesuatu daripuasanya, kecuali rasa lapar dan
    dahaga."

    Ini berarti bahwa menahan diri dari lapar dan dahaga bukan tujuan utama dari puasa. Ini dikuatkan pula dengan firman-Nya
    bahwa "Allah menghendaki untuk kamu kemudahan bukan kesulitan."

    Di sisi lain, dalam sebuah hadis qudsi, Allah berfirman, Semua amal putra-putri Adam untuk dirinya, kecuali puasa.
    Puasa adalah untuk-Ku dan Aku yang memberi ganjaran atasnya."

    Ini berarti pula bahwa puasa merupakan satu ibadah yang unik. Tentu saja banyak segi keunikan puasa yang dapat dikemukakan,
    misalnya bahwa puasa merupakan rahasia antara Allah dan pelakunya sendiri. Bukankah manusia yang berpuasa dapat
    bersembunyi untuk minum dan makan? Bukankah sebagai insan, siapa pun yang berpuasa, memiliki keinginan untuk makan atau
    minum pada saat-saat tertentu dari siang hari puasa? Nah, walau demikian, apa motivasinya menahan diri dan keinginan
    itu? Tentu bukan karena takut atau segan dari manusia, sebab jika demikian, dia dapat saja bersembunyi dari pandangan
    mereka. Di sini disimpulkan bahwa orang yang berpuasa, melakukannya demi karena Allah Swt. Demikian antara lain
    penjelasan sementara ulama tentang keunikan puasa dan makna hadis qudsi di atas.

    Sementara pakar ada yang menegaskan bahwa puasa dilakukan manusia dengan berbagai motif, misalnya, protes, turut
    belasungkawa, penyucian diri, kesehatan, dan sebagai-nya. Tetapi seorang yang berpuasa Ramadhan dengan benar, sesuai
    dengan cara yang dituntut oleh Al-Quran, maka pastilah ia akan melakukannya karena Allah semata.

    Di sini Anda boleh bertanya, "Bagaimana puasa yang demikian dapat mengantarkan manusia kepada takwa?" Untuk menjawabnya
    terlebih dahulu harus diketahui apa yang dimaksud dengan takwa.

    PUASA DAN TAKWA

    Takwa terambil dari akar kata yang bermakna menghindar, menjauhi, atau menjaga diri. Kalimat perintah ittaqullah
    secara harfiah berarti, "Hindarilah, jauhilah, atau jagalah dirimu dari Allah"

    Makna ini tidak lurus bahkan mustahil dapat dilakukan makhluk. Bagaimana mungkin makhluk menghindarkan diri dari Allah atau
    menjauhi-Nya, sedangkan "Dia (Allah) bersama kamu di mana pun kamu berada." Karena itu perlu disisipkan kata atau kalimat
    untuk meluruskan maknanya. Misalnya kata siksa atau yang semakna dengannya, sehingga perintah bertakwa mengandung arti
    perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah.

    Sebagaimana kita ketahui, siksa Allah ada dua macam.

    a. Siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap
    hukum-hukum Tuhan yang ditetapkan-Nya berlaku di alam raya ini, seperti misalnya, "Makan berlebihan dapat
    menimbulkan penyakit," "Tidak mengendalikan diri dapat menjerumuskan kepada bencana", atau "Api panas,
    dan membakar", dan hukum-hukum alam dan masyarakat lainnya.

    b. Siksa di akhirat, akibat pelanggaran terhadap hukum syariat, seperti tidak shalat, puasa, mencuri,
    melanggar hak-hak manusia, dan 1ain-lain yang dapat mengakibatkan siksa neraka.

    Syaikh Muhammad Abduh menulis, "Menghindari siksa atau hukuman Allah, diperoleh dengan jalan menghindarkan diri dari segala
    yang dilarangnya serta mengikuti apa yang diperintahkan-Nya. Hal ini dapat terwujud dengan rasa takut dari siksaan dan atau
    takut dari yang menyiksa (Allah Swt ). Rasa takut ini, pada mulanya timbul karena adanya siksaan, tetapi seharusnya ia
    timbul karena adanya Allah Swt. (yang menyiksa)."

    Dengan demikian yang bertakwa adalah orang yang merasakan kehadiran Allah Swt. setiap saat, "bagaikan melihat-Nya atau
    kalau yang demikian tidak mampu dicapainya, maka paling tidak, menyadari bahwa Allah melihatnya," sebagaimana bunyi sebuah
    hadis.

    Tentu banyak cara yang dapat dilakukan untuk mencapai hal tersebut, antara 1ain dengan jalan berpuasa. Puasa seperti
    yang dikemukakan di atas adalah satu ibadah yang unik. Keunikannya antara lain karena ia merupakan upaya manusia
    meneladani Allah Swt.

    PUASA MENELADANI SIFAT-SIFAT ALLAH

    Beragama menurut sementara pakar adalah upaya manusia meneladani sifat-sifat Allah, sesuai dengan kedudukan manusia
    sebagai makhluk. Nabi Saw. memerintahkan, "Takhallaqu bi akhlaq Allah" (Berakhlaklah (teladanilah) sifat-sifat Allah).

    Di sisi lain, manusia mempunyai kebutuhan beraneka ragam, dan yang terpenting adalah kebutuhan fa'ali, yaitu makan, minum,
    dan hubungan seks. Allah Swt. memperkenalkan diri-Nya antara lain sebagai tidak mempunyai anak atau istri:

    Bagaimana Dia memiliki anak, padahal Dia tidak memiliki istri? (QS Al-An'am [6]: 101)

    Dan sesungguhnya Mahatinggi kebesaran Tuhan kami. Dia tidak beristri dan tidak pula beranak (QS Al-Jin
    [72]: 3).

    Al-Quran juga memerintahkan Nabi Saw. untuk menyampaikan,

    Apakah aku jadikan pelindung selain Allah yang
    menjadikan langit dan bumi padahal Dia memberi makan
    dan tidak diberi makan...? (QS Al-An'am [6]: 14).

    Dengan berpuasa, manusia berupaya dalam tahap awal dan minimal mencontohi sifat-sifat tersebut. Tidak makan dan tidak minum,
    bahkan memberi makan orang lain (ketika berbuka puasa), dan tidak pula berhubungan seks, walaupun pasangan ada.

    Tentu saja sifat-sifat Allah tidak terbatas pada ketiga hal itu, tetapi mencakup paling tidak sembilan puluh sembilan
    sifat yang kesemuanya harus diupayakan untuk diteladani sesuai dengan kemampuan dan kedudukan manusia sebagai makhluk ilahi.
    Misalnya Maha Pengasih dan Penyayang, Mahadamai, Mahakuat, Maha Mengetahui, dan lain-lain. Upaya peneladanan ini dapat
    mengantarkan manusia menghadirkan Tuhan dalam kesadarannya, dan bila hal itu berhasil dilakukan, maka takwa dalam
    pengertian di atas dapat pula dicapai.

    Karena itu, nilai puasa ditentukan oleh kadar pencapaian kesadaran tersebut --bukan pada sisi lapar dan dahaga--
    sehingga dari sini dapat dimengerti mengapa Nabi Saw. menyatakan bahwa, "Banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak
    memperoleh dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga."

    PUASA UMAT TERDAHULU

    Puasa telah dilakukan oleh umat-umat terdahulu. Kama kutiba 'alal ladzina min qablikum (Sebagaimana diwajibkan atas
    (umat-umat) yang sebelum kamu). Dari segi ajaran agama, para ulama menyatakan bahwa semua agama samawi, sama dalam
    prinsip-prinsip pokok akidah, syariat, serta akhlaknya. Ini berarti bahwa semua agama samawi mengajarkan keesaan Allah,
    kenabian, dan keniscayaan hari kemudian. Shalat, puasa, zakat, dan berkunjung ke tempat tertentu sebagai pendekatan kepada
    Allah adalah prinsip-prinsip syariat yang dikenal dalam agama-agama samawi. Tentu saja cara dan kaifiatnya dapat
    berbeda, namun esensi dan tujuannya sama.

    Kita dapat mempertanyakan mengapa puasa menjadi kewajiban bagi umat islam dan umat-umat terdahulu?

    Manusia memiliki kebebasan bertindak memilih dan memilah aktivitasnya, termasuk dalam hal ini, makan, minum, dan
    berhubungan seks. Binatang --khususnya binatang-binatang tertentu-- tidak demikian. Nalurinya telah mengatur ketiga
    kebutuhan pokok itu, sehingga --misalnya-- ada waktu atau musim berhubungan seks bagi mereka. Itulah hikmah Ilahi demi
    memelihara kelangsungan hidup binatang yang bersangkutan, dan atau menghindarkannya dari kebinasaan.

    Manusia sekali lagi tidak demikian. Kebebasan yang dimilikinya bila tidak terkendalikan dapat menghambat pelaksanaan fungsi
    dan peranan yang harus diembannya. Kenyataan menunjukkan bahwa orang-orang yang memenuhi syahwat perutnya melebihi kadar yang
    diperlukan, bukan saja menjadikannya tidak lagi menikmati makanan atau minuman itu, tetapi juga menyita aktivitas
    lainnya kalau enggan berkata menjadikannya lesu sepanjang hari.

    Syahwat seksual juga demikian. Semakin dipenuhi semakin haus bagaikan penyakit eksim semakin digaruk semakin nyaman dan
    menuntut, tetapi tanpa disadari menimbulkan borok.

    Potensi dan daya manusia --betapa pun besarnya-- memiliki keterbatasan, sehingga apabila aktivitasnya telah digunakan
    secara berlebihan ke arah tertentu --arah pemenuhan kebutuhan faali misalnya-- maka arah yang lain, --mental spiritual--
    akan terabaikan. Nah, di sinilah diperlukannya pengendalian.

    Sebagaimana disinggung di atas, esensi puasa adalah menahan atau mengendalikan diri. Pengendalian ini diperlukan oleh
    manusia, baik secara individu maupun kelompok. Latihan dan pengendalian diri itulah esensi puasa.

    Puasa dengan demikian dibutuhkan oleh semua manusia, kaya atau miskin, pandai atau bodoh, untuk kepentingan pribadi atau
    masyarakat. Tidak heran jika puasa telah dikenal oleh umat-umat sebelum umat Islam, sebagaimana diinformasikan oleh
    Al-Quran.

    Dari penjelasan ini, kita dapat melangkah untuk menemukan salah satu jawaban tentang rahasia pemilihan bentuk redaksi
    pasif dalam menetapkan kewajiban puasa. Kutiba 'alaikumushshiyama (diwajibkan atas kamu puasa), tidak menyebut siapa
    yang mewajibkannya?

    Bisa saja dikatakan bahwa pemilihan bentuk redaksi tersebut disebabkan karena yang mewajibkannya sedemikian jelas dalam
    hal ini adalah Allah Swt. Tetapi boleh jadi juga untuk mengisyaratkan bahwa seandainya pun bukan Allah yang
    mewajibkan puasa, maka manusia yang menyadari manfaat puasa, dan akan mewajibkannya atas dirinya sendiri. Terbukti motivasi
    berpuasa (tidak makan atau mengendalikan diri) yang selama ini dilakukan manusia, bukan semata-mata atas dorongan ajaran
    agama. Misalnya demi kesehatan, atau kecantikan tubuh, dan bukankah pula kepentingan pengendalian diri disadari oleh
    setiap makhluk yang berakal?

    Di sisi lain bukankah Nabi Saw. bersabda, "Seandainya umatku mengetahui (semua keistimewaan) yang dikandung oleh Ramadhan,
    niscaya mereka mengharap seluruh bulan menjadi Ramadhan."

    KEISTIMEWAAN BULAN RAMADHAN

    Dalam rangkaian ayat-ayat yang berbicara tentang puasa, Allah menjelaskan bahwa Al-Quran diturunkan pada bulan Ramadhan. Dan
    pada ayat lain dinyatakannya bahwa Al-Quran turun pada malam Qadar,

    Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Quran) pada Lailat Al-Qadr.

    Ini berarti bahwa di bulan Ramadhan terdapat malam Qadar itu, yang menurut Al-Quran lebih baik dari seribu bulan. Para
    malaikat dan Ruh (Jibril) silih berganti turun seizin Tuhan, dan kedamaian akan terasa hingga terbitnya fajar.

    Di sisi lain --sebagaimana disinggung pada awal uraian-- bahwa dalam rangkaian ayat-ayat puasa Ramadhan, disisipkan ayat yang
    mengandung pesan tentang kedekatan Allah Swt. kepada hamba-hamba-Nya serta janji-Nya untuk mengabulkan doa --siapa
    pun yang dengan tulus berdoa.

    Dari hadis-hadis Nabi diperoleh pula penjelasan tentang keistimewaan bulan suci ini. Namun seandainya tidak ada
    keistimewaan bagi Ramadhan kecuali Lailat Al-Qadr, maka hal itu pada hakikatnya telah cukup untuk membahagiakan manusia.

    Jadwal Puasa Ramadhan 2022

    Menurut prediksi, permulaan puasa Ramadhan akan jatuh pada Sabtu, 2 April 2022 mendatang. Sedangkan  Idul Fitri 1443 Hijriah  jatuh pada 2 d...